Saat Irman Maju ke Depan

59 3 1
                                    


ANGGITA maju ke depan kelas setelah Abimanyu, Ahmad, Andika, dan Angga, memainkan pianika. Lagu "Apuse" yang ia mainkan membuat kelas yang tadi agak ribut menjadi hening. Nilainya nyaris seratus—ingin kuberi seratus, tapi hal itu nyaris tak pernah kulakukan di pelajaran seni. Kemudian ia menyanyikan "Satu Nusa Satu Bangsa". Suaranya merdu dan bening. Nada dan irama terdengar begitu serasi, seisi kelas terpana mendengarnya. Keheningan makin menjadi-jadi.

"Satu Nusa Satu Bangsa"—betapa banyak rakyat Indonesia yang menghapalnya, namun betapa jarang aku mendengarnya dinyanyikan semerdu itu. Anggita telah membuat perbedaan pada ujian praktek Seni Musik di kelas 4B hari ini. Tepukan tangan terdengar riuh ketika ia selesai menyanyi, bahkan ada siswa yang sampai berdiri dan menepuk-nepuk meja. Pada ujian kali ini, tiap siswa diminta untuk menyanyi dan memainkan pianika satu lagu nasional dan lagu daerah yang sudah kuajarkan. Kombinasinya bebas: bermain pianika lagu nasional dan bernyanyi lagu daerah, atau sebaliknya.

Setelah Anggita maju, ada Apsari, Binsar, Brenda, Charlie, Cici, dan seterusnya. Seperti beberapa anak lainnya, permainan pianika mereka standar—ada yang baik, ada yang buruk. Dan, nyanyian mereka ada yang sumbang, ada yang merdu.

Kelas kembali lemas, setelah tadi hening oleh nada dan suara yang bening.

Tibalah giliran Irman. Ia berada di urutan ke-11 dari 25 anak di kelas 4B, namun memilih diuji terakhir. Ia berkata kepadaku saat pelajaran hampir kumulai, semalam tak bisa tidur. "Ibu saya sakit semalam, Bu Trisya." Suaranya terdengar lirih.

Irman. Telapak tangannya selalu berkeringat ketika berpikir. Ia mudah sekali mengantuk. Ia susah berkonsentrasi untuk sesuatu yang dikerjakannya. Ia sering pergi ke kantin sendirian setiap istirahat. Ia jarang tersenyum—kalaupun tersenyum, senyumnya tipis sekali.

Ia membiarkan ejekan beberapa teman yang suka mengatainya penakut dan banci. Sesekali kulihat matanya merah menahan tangis. Namun demikian, ia tak banyak bicara, tak pernah juga mengadu ketidakadilan yang tampak sering mendera jiwanya. Dan, kudengar, ibunya sendirian membesarkan Irman. Di data siswa, tertulis kalau pekerjaannya wiraswasta. Kata Irman, ibunya sering ke luar kota. Irman tinggal bersama pembantunya, rumahnya tak jauh dari sekolah tempatku mengajar di Sidoarjo.

Satu demi satu siswa maju, tak ada lagi yang penampilannya membius seperti Anggita. Ketika Yunita, siswa terakhir di daftar absen kupanggil, aku teringat kejadian sebulan lalu. Saat itu Irman maju untuk bernyanyi. Begitu kecil suaranya, namun aku tak tega membentaknya untuk menyaringkan suaranya setelah memintanya berkali-kali agar bernyanyi lebih keras. Ia memandang ke arah langit-langit kelas ketika bernyanyi. Ia menuntaskan lagu "Garuda Pancasila" tanpa ada satu pun nada sumbang. Dengan suara kecilnya pada waktu itu, ia mendiamkan seluruh kelas dengan cara yang jauh lebih hebat daripada yang dilakukan Anggita hari ini.

Kini, aku tak sabar melihatnya memainkan pianika dan bernyanyi. Ketika ia maju, aku melihat dua tetes air jatuh dari tangan kanannya yang sedang bersiap menyentuh tuts-tuts pianika. Ia mengelapkan kedua telapak tangannya di celana. Aku tertunduk seketika melihatnya, lalu menoleh ke siswa-siswa lain. Ada yang mengangkat badan mereka di kursi belakang, ada yang berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya. Betapa ia terlihat seperti orang tua—lemah dan ringkih.

Ia memegang bagian bawah pianika dengan tangan kirinya. Ia masukkan peniup pianika di bibirnya, lalu menoleh sekilas ke arahku. Aku memandang bibir dan jarinya bergantian selama beberapa detik, menunggunya meniup pianika itu. Ia menoleh sekali lagi ke arahku, aku mengangguk.

Ia mainkan pianika itu.

Tak ada kesalahan sama sekali—sempurna! Seisi kelas bahkan bertepuk tangan demi mendengar nada-nada dari tangannya. Di pianika Irman dan lantai di sekitar ia berdiri ada beberapa tetes keringat yang keluar dari tangannya.

Namun bagian yang kuharapkan menjadi bagian terbaik belum tiba. Aku menunggu Irman memperdengarkan suara merdunya dengan lebih lantang. Aku memintanya mengambil napas beberapa saat sebelum ia bernyanyi. Aku membesarkan hatinya dengan menyatakan suaranya bagus dan merdu.

Seisi kelas termangu... kini sabar menunggu.

Ketika Irman sudah siap mengangkat suara untuk bernyanyi, tiba-tiba, dari jendela kelas aku melihat seseorang yang kukenal datang menuju kelasku. Pembantu Irman datang. Dari kejauhan tampak matanya sembab. Ada apa gerangan?

"Ibu Irman ada di rumah sakit, Bu Trisya," katanya kepadaku, setengah berbisik, setelah aku mendekati pintu kelas. "Dan kini dia sedang..." Ia tak melanjutkan apa yang hendak dikatakannya. Ia memohon izin kepadaku agar membawa Irman ke rumah sakit. Irman tiba-tiba menangis. Isakannya pelan, namun air matanya mengalir deras.

Aku melepas kepergian keduanya tanpa banyak bicara.

***

Waktu ujian praktek telah berlalu. Irman tak lagi menjadi muridku. Ia datang di awal semester ini, dan menghilang menjelang akhir semester ini. Ia menghilang begitu cepat—seperti hawa sejuk yang buru-buru pergi di Sidoarjo ketika pagi beranjak siang.

Ibunya telah menghadap Sang Khalik saat Irman maju ke depan kelas untuk bernyanyi, atau mungkin sebelum memainkan pianika, atau mungkin juga sebelum ia dipanggil maju ke depan kelas. Seorang pria telah berlaku kejam pada ibunya di malam sebelum Irman diuji bernyanyi dan memainkan pianika. Seorang pria yang jadi pelanggannya. Ibu Irman, yang ternyata bekerja sebagai wanita penghibur di Tretes, sedang tidak sehat, namun memaksa diri tetap bekerja malam itu. Belakangan aku tahu, Irman sangat menyayangi ibunya, namun ibunya sering berlaku kasar kepadanya. Berkali-kali ia juga berkata bahwa kehadiran Irman menyusahkan saja, dan tidak jelas siapa ayahnya.

Akhir tahun akan segera datang. Ujian akhir semester akan segera digelar. Irman masih menyisakan jejak yang dapat kutelusuri. Aku berharap dapat menemukannya. (*)

Sidoarjo, 2010

Cerita untuk Pak Alexander Pandapotan, guru seni musik di SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo

(Cerita ini dimuat di Majalah Hidup edisi 32, terbit 7 Agustus 2016.)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MENIKAH DI KUBURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang