"Dia tidak seharusnya memperlakukanmu seperti ini."
Maya terkekeh pelan mendengar gerutuan Bulan, "Itu hak dia, Lan. Aku bukan siapa-siapa Levi, jadi terserah dia mau dekat sama siapapun," sepasang mata gelapnya kemudian menatap kosong pada semangkuk bakso, yang sejak tadi tak tersentuh di depannya. "Lagian, mungkin akunya yang kege'eran. Siapa tahu Levi emang udah lama naksir Sisca." Nada suara Maya terdengar pahit. Dia mengangkat kepala dan pandangannya seketika terpaku pada sesuatu yang terjadi di seberang lapangan.
Bulan mendesah, dia paham apa yang dirasakan Maya. Sahabatnya itu sedang mengalami patah hati, selama beberapa bulan dekat, dan menjalin hubungan tanpa ikatan dengan Levi, si preman sekolah tampan yang digilai banyak siswi. Kemarin Maya harus menerima kenyataan tak menyenangkan, Levi (digosipkan, dan memang tampak seperti) pacaran dengan anak kelas satu bernama Sisca.
Levi yang dulu selalu ada untuk Maya, kini selalu ada untuk Sisca. Dan bahkan tak punya waktu untuk menanggapi pertanyaan Maya tentang kejelasan hubungan mereka.
Bulan mengernyit saat menyadari bahwa Maya menjadi sangat pendiam, dengan aura yang semakin suram. Gadis berkulit putih dengan rambut sebahu itu tampak menatap kosong ke arah lapangan. Bulan mengikuti arah pandangan Maya, lalu mendengus saat menyadari apa yang sedaritadi diperhatikan Maya. Sisca dan Levi. Mereka tampak tertawa bahagia bersama teman-teman Levi di bawah pohon, di seberang lapangan volly.
"May ...."
"Balik ke kelas yuk, Lan," ajak Maya sembari bangun dari bangku lalu beranjak menuju Ibu kantin, untuk membayar semangkuk bakso yang bahkan belum dia makan.
Bulan menghela napas sejenak. Lalu dengan enggan berjalan mengikuti Maya.
***
"Bos."
Levi mengernyit saat Sid tiba-tiba memanggilnya dan menggedikan kepala ke suatu arah. Dia menoleh ke arah yang dimaksud Sid, dan melihat Maya yang sedang berjalan menyusuri koridor dengan ditemani Bulan. Raut wajahnya tampak murung. Hal itu membuat Levi merasa bersalah. Pertanyaan terakhir Maya beberapa hari lalu, ketika mereka bicara, masih terngiang jelas di telinganya.
"Sebenarnya hubungan seperti apa yang sedang kita jalani? Dan apa artinya aku buat kamu?" belum sempat menjawab pertanyaan Maya, Levi mendapat pesan singkat bahwa Sisca sangat membutuhkan dia.
Levi mendesah. Berpikir sejenak, dia kemudian berpaling pada Sisca yang sedang terkekeh menonton stand up comedy dadakan yang dilakukan Agus.
"Sisca. Kapan Papa dan Mamamu kembali?"
"Lusa Kak. Kenapa?"
***
Ini minggu yang rumit untuk Maya. Perasaan yang muncul saat melihat kebersamaan Levi dan Sisca membuatnya tidak mau ke sekolah. Tapi apa boleh buat, orang tuanya, terutama si Papa, akan marah saat mengetahui bahwa anak perempuannya tidak mau pergi sekolah cuma gara-gara seorang cowok.
"May. Cepetan!"
"Iya Ma, bentaaaar!"
"Udah jam tujuh lho, May."
"Iya. Iya!" Maya merutuki kecerewetan mamanya. Buru-buru amat sih Ma, lagian sekolah kan dekat, cuma beberapa meter dari rumah. Kalau telat, tinggal ngebut—lari. Dan juga si Papa udah ngebut dari tadi.
"Mayaaa!"
Maya cemberut mendengar panggilan sang Mama, "Iya Maaa," sahutnya sebal sembari memasukan beberapa buku, sesuai jadwal mata pelajaran hari ini ke dalam tas.
"May, cepatan ditungguin temanmu nih!"
Mmmnn? Sebelah alis Maya terangkat tinggi mendengar perkataan Mamanya.
Teman? Siapa?
***
Maya tidak menyangka kalau teman yang dimaksud Mamanya adalah Levi. Setelah hampir dua minggu mereka tidak saling bicara dan bahkan bertukar pesan singkat melalui ponsel, Maya tidak mengira kalau Levi mau repot-repot menjemputnya ke rumah. Keduanya melangkah pelan, dalam diam, menuju ke sekolah.
"Gimana khabarmu?" Levi akhirnya buka suara.
"Baik," Maya menjawab gugup. Suasana diantara keduanya mendadak canggung. "Gimana khabar Sisca?"
Kening Levi berkerut mendengar pertanyaan Maya, "Sisca baik. Dia nggak masuk. Ijin ke Jakarta sama keluarganya."
"Oh." Maya mengangguk.
Ketika memasuki gerbang sekolah, gadis itu tampak gelisah. Anak-anak lain memperhatikan mereka.
"May ...."
"Hmm?"
"Soal pertanyaan kamu waktu itu ...."
Maya tersentak. Wajahnya sontak memerah, dia menoleh salah tingkah ke arah Levi. "Soal itu nggak usah dipikirin. Lagian aku udah ikhlas kok kamu jadian sama Sisca. Akunya aja yang kege'eran," dia gelagapan, "Udah ya, aku ke kelas duluan." Dia berbalik dan baru dua langkah Levi tiba-tiba berseru, menarik perhatian anak-anak yang baru tiba di sekolah. Apalagi sekarang mereka berdua sedang berdiri di lapangan.
"Aku harap kita bisa menjalani hubungan yang lebih dari sekedar teman ...!"
Langkah Maya terhenti. Matanya melebar, dan jantungnya berdegup dua kali lebih cepat dari biasa.
"Karena kamu sangat berarti buat aku." Bos preman sekolah itu terlihat salah tingkah, wajahnya merah padam karena malu. apalagi murid-murid lain mulai berkumpul di sekitar keduanya, menyoraki mereka dan melakukan paduan suara ; "Cieeeee," yang kompak.
"Ahayyy!"
"Cie. Cieeeeee."
"Dafuq. Si Bos ternyata romantis," celoteh Agus sambil terbahak. Mengabaikan pelototan sebal dari Levi.
Maya berbalik. Dia menatap Levi tak percaya.
Maya terdiam. Hatinya berbunga-bunga, dia tidak menyangka kalau Levi akan membalas perasaannya. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran gadis itu.
"Lalu Sisca? Bukannya dia ...."
"Dia sepupuku," potong Levi cepat, mata Maya membulat terkejut, "beberapa minggu ini aku ngejagain dia karena dia sedang sakit, dan orang tuanya pergi keluar kota. Sekarang dia ikut orang tuanya ke Jakarta untuk operasi," jelas Levi. Maya ingin bertanya tentang penyakit Sisca lebih lanjut, namun pikiran itu menguap dari kepalanya saat mendengar koor kompak dari murid-murid yang sedaritadi menonton mereka.
"Terima! Terimaa! Terima!" Ah. Rupanya dia masih belum menerima pernyataan cinta Levi. Gadis itu menunduk malu.
"Gimana May? Kamu mau jadi pacar aku?"
Maya melirik Levi sebentar. Menggigit bibir untuk menahan senyum, lalu mengangguk malu-malu. Levi tersenyum lebar. Sementara murid-murid lain menjerit girang karena tontonan drama gratis mereka berakhir menyenangkan.
"Ecieeee. Si Bos akhirnya nggak jomblo lagi!" goda Sid dan Agus saat melihat kedua sejoli itu mulai bergandengan tengan dengan malu-malu. Ah. Indahnya masa remaja.
*FINISH
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna-Warni di Putih-Abu
Short StoryKumpulan cerita pendek tema putih-abu/remaja