Bapak-bapak

188 19 5
                                    

Maaf lama updatenya, ya, gengs!
Happy reading!

...♪♬

Bus melaju dengan kecepatan sedang. Tampak Nai tengah berdiri di dalamnya, dengan satu tangan berpegang erat pada benda di atas kepalanya. Ya, bus sore ini padat penumpang hingga beberapa penumpang lainnya harus rela berdiri dan menjaga keseimbangan acap kali bus berhenti atau melewati jalanan rusak.

"Sial!" desis Ken kesal.

Tepat sesaat setelah Ken mengendarai motornya keluar pagar sekolah, Nai sudah terbawa oleh bus biru itu.

~ ♪ ♬ ♪ ♬ ♪ ~

Ponsel Ken berbunyi. Ia merogoh kantong celana abunya, tertera nama sang ibu di display. Ken segera menjawab panggilan itu.

"Ya, ma?" sahut Ken malas.

"Kamu dimana?" tanya Melinda―ibu Ken.

"Masih di sekolah."

"Bisa minta tolong mampir ke rumah pak Haris?"

Ken ingat betul siapa Haris. Sosok orangtua yang begitu humble. Ia sempat bertemu sekali dengan Haris di galeri Melinda ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Haris adalah seniman berbakat yang memiliki sejuta talenta di bidang serupa. Sekali pertemuan itu memberikan Ken beribu ilmu yang sampai sekarang ia ingat. Beliau juga yang membuat Ken begitu cinta dengan dunia musik dan mempelajari gitar juga beberapa alat musik lainnya sampai sekarang.

"Kirimin aja alamatnya, ma."

"Oke, sayang. Makasi, ya. Nanti mama beliin kamu gitar baru."

Senyum Ken mengembang, "thanks, Madam!"

Ken memasukkan kembali ponselnya setelah pesan masuk dari Melinda ia baca dengan seksama. Tak apa hari ini ia gagal pulang bersama Nai. Sebagai gantinya ia bisa bertemu bapak seniman idolanya.

Memasuki sebuah perumahan, Ken mulai celingukan mencari rumah bernomorkan 7. Sistem penentuan nomor disini begitu kacau. Akhirnya Ken menghentikan motornya asal. Ia membuka kembali pesan Melinda. Dibacanya berulang kali. Saking fokusnya membaca, ia sampai tak memperdulikan tiap orang yang jalan melewatinya. Padahal ia bisa bertanya pada salah satu dari mereka.

"Dimana si, rumahnya?" Ken menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia mengedarkan pandangan, sampai dilihatnya sebuah rumah dengan desain dan interior yang unik. Dan rumah itu berada tepat di hadapannya. Ia berhenti di rumah yang tepat.

Dengan semangat Ken memarkirkan motornya di garasi rumah tersebut.

"Permisi!" ucap Ken setengah berteriak.

Tak butuh waktu lama, sosok Haris keluar dari balik pintu gesernya. Beliau cukup lama mengenali soson Ken. Sampai Ken memamerkan senyum khasnya, Haris tak mengenalinya juga.

"Pak, ini saya, Ken. Kenta Utama, anaknya Melinda Utama."

Setelah menyebutkan nama Melinda barulah Haris ingat. Anak muda di depannya ini adalah anak SD yang sempat ia ajak ngobrol panjang lebar soal seni.

"Oalah, udah besar sekarang kamu, nak. Ayo, duduk dulu." Haris mengiring Ken ke terasnya. Ia mempersilakan Ken untuk duduk di kursi pahatan menghadap rumahnya. Sedangkan Haris duduk di hadapan Ken menghadap pelataran rumahnya.

Setelah bertanya kabar, mereka terlibat obrolan seru. Dan itu menyangkut kesenian. Ken dengan bangga memberitahu Haris bahwa ia sudah bisa bermain gitar dengan fasih.

"Saya mau dengar kamu main gitar. Tunggu sebentar," Haris menjulurkan leher dan setengah badannya ke ambang pintu, "dik, tolong ambilin gitar ayah, dik," perintahnya dengan lembut.

Ode to you ...♪♬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang