Tersaji dua kopi susu diatas meja yang sudah terlanjur dingin, sudah tak lagi panas seperti ketika aku memesannya. Terletak di sampingnya sebuah asbak berbentuk kura-kura yang terbuat dari batu, dimana di atas nya sudah bersemayam bongkahan-bongkahan abu bekas sigaret. Ada dua batang–satu sudah padam dan satu lagi sudah terlampau pendek untuk kuhisap, tetapi masih menyala merah, masih ada sisa asap yang tinggal menunggu waktunya untuk habis, namun tak kunjung dimatikan oleh sang pehisap, aku.
"Pernakah kau berpikir bagaimana seekor induk sapi mau merelakan minuman untuk anak-anaknya kepada manusia? lantas disuguhkan bersama air pekat berbau yang sejatinya berasal dari apa yang biasa ia makan?" ucapmu sekali ketika kita hendak memesan kopi susu hangat di sebuah warung kopi. "Semakin sering kau hisap rokok mild mu itu, aku rasa induk sapi akan semakin senang dan berharap kepada tuhan sapi, agar manusia sepertimu cepat mati dan anaknya bisa bertambah gemuk." ujarmu disertai tawa kecil. Sambil mengangkat gelas kopi, aku berikan padamu sebuah seringai tanda setuju, dan kita lepas berbicara setelahnya.
Pembicaraan kita yang ngalor ngidul memang tak pernah mampu membawa kita kemanapun. Tetapi pada akhirnya pembicaraan sembarang itu menggiring kita ke sebuah tempat dimana tidak ada ketakutan bersemayam ketika kita saling menyandarkan apapun, menyandarkan rahasia, menyandarkan ketakutan, ataupun menyandarkan harapan disana, itu yang kukenal sebagai keamanan. Aku menganggap bahwa keamanan adalah yang nomor satu, baru setelahnya perihal cinta, setidaknya itu yang kutahu dari seorang Rendra.
Memang tak sedikitpun pernah terlintas di benakku bagaimana seorang sepertimu tahan dan rela untuk berada di dekatku. Seorang jurnalis rendahan yang sesekali menuliskan pendapatnya kepada sebuah surat kabar di ibukota, dengan gaji tak seberapa yang sering kali ditunggak. Sedang kau adalah lulusan teknik perminyakan dengan prospek karir gemilang dengan berbagai macam kursi yang menunggu untuk kau duduki. Kau hanya tinggal memilih, apabila kau seorang nasionalis maka kau mampu mengabdi untuk negara, atau apabila kau mencari harta lebih, maka kau mampu bekerja untuk kaum kapitalis di tengah samudera luas.
Kau selalu berkata bahwa apa yang kulakukan sebagai penghidupan itu cukup-cukup saja bagimu. Kau bilang pandanganku semakin terbuka lebar ketika aku menulis, dan kau senang dengan itu, lagipula mungkin itu juga yang membuatmu mau berada di dekatku, tapi aku teringat betapa tidak suka nya kau ketika aku mulai merokok saat menulis, kau melihat itu sebagai tindakan bunuh diri secara perlahan. Tetapi sudah barang tentu penilaianmu terlampau subjektif dengan menitikberatkan pandanganmu kepada kepentinganku saja. Apakah kau pernah berpikir tentang kepentinganmu? Ah, aku kira tanpa diriku, kepentinganmu sudah terpenuhi dengan sendirinya. Tapi pernahkah kau menimbang bagaimana dengan terpenuhinya kepentingan orang lain? kepentingan ibu-bapakmu yang amat berharap anak gadisnya menikahi pemuda kaya?
"Do what you love, love what you do" ikrarmu selalu kepadaku.
Beberapa bulan kemudian, di sebuah senja di warung kopi tempat kita biasa bercengkrama, aku ingat ketika kau menyampaikan kepadaku bahwa kau ditawarkan untuk bekerja di sebuah perusahaan tambang internasional lepas pantai di Teluk Meksiko. Perihal pekerjaan, aku kira aku takkan mampu menahanmu untuk pergi berangkat ke Amerika. Aku tahu betapa selama ini kau ingin untuk memperluas jangkauanmu untuk menggenggam dunia dan mengebor lautan dengan semangatmu, maka dari itu aku melepasmu.
"Tenang saja, kau bisa sesekali datang ke Amerika dan mengunjungi oil rig tempat aku bekerja, lagipula kita masih bisa bertukar kabar." ungkapmu menenangkanku.
"Apabila kau memang menginginkan itu, kejarlah! do what you love, love what you do, pergilah ke Amerika." ganti aku yang memberikan ikrar itu padamu.
...
Genap tujuh bulan sejak kau pergi ke Amerika, dering suara panggilan Skype dari mu yang biasa terdengar tepat pukul delapan malam tak pernahku dengar lagi. Aku masih ingat alasanmu mengapa kau selalu menelpon di waktu itu, lantaran perbedaan waktu dua belas jam antara Jakarta dan oil rigmu, akhirnya kau putuskan untuk menelponku pagi hari sebelum kau bekerja yang berarti malam hari setelah aku bekerja. Panggilan terakhir yang aku terima darimu adalah tiga minggu sebelumnya. Surat terakhir yang ku kirimkan padamu pun belum kau balas setelahnya.