Katamu, sastra akrab dengan kopi. Kopi hitam yang mengepul (tentu saja tak bersianida), meja kopi, di pinggir jendela yang menampakkan riuh dunia luar, juga rintik hujan. Bersama buku yang terbuka pada titik tertentu, menunjukkan halaman terakhir yang kamu baca, sambil sesekali menyesap kopi hitam yang pahit.
Katamu, rasa pahit kopi menggambarkan pahitnya kehidupan, karena itulah kamu tidak pernah suka apabila gula atau krim ditambahkan ke dalam kopimu. Kamu suka seperti itu, tapi kamu tahu aku tidak pernah menyukai rasa pahit. Aku lebih suka yang manis, seperti dirimu.
Katamu, sastra tidak lengkap tanpa adanya kopi. Seperti sepasang kaki tanpa sepatu, atau kertas tanpa pulpen. Tidak lengkap. Seperti aku tanpamu, sesaat kupikir begitu, namun khayalan itu segera kuhapus dari benakku.
Tapi hey-bukankah pengandaian itu terlalu hiperbolis? Maksudku, jikalau kamu tidak punya sepatu untuk dipakai, kamu bisa menggunakan sendal. Atau kamu bisa menggunakan pensil sebagai pengganti pulpen. Sebagaimana segelas teh hitam yang mencoba menggantikan posisi kopi, yang kutahu takkan pernah bisa.
Sekarang marilah kita duduk berhadapan di meja kafe ini, bersama segelas teh hitam yang kupesan dan secangkir kopi yang sama pekatnya-tidak panas, tidak juga dingin, namun hangat seperti perasaanku kepadamu. Tentu, kehidupan itu memang pahit, namun itu semua bergantung kepada kita yang menjalani kehidupan itu. Seperti aku, yang memilih menambahkan sesendok gula pasir ke dalam gelas teh hitamku, kamu pun bebas menambahkan sesendok gula untuk mempermanis kehidupanmu.
Dulcet Deity,
(Kamis, 8 September 2016. Pukul 22:44)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentangmu Dan Segelas Teh Hitam
PoetryDari gadis yang lebih menyukai teh hitam manis. Ya, hitam manis. Seperti kamu.