01. Decision

226K 14K 226
                                    

Vanessa memijat-mijat kepalanya sendiri yang berdenyut akibat terlalu banyaknya cairan alkohol yang masuk ke otaknya semalam. Dia baru saja terbangun siang ini di ranjangnya sendiri di rumahnya, namun kejadian semalam langsung kembali merasuk dalam pikirannya, termasuk kalimat maksiat yang keluar dari mulut Abby

"Merit sama gue aja, Va."

Kata-kata dari Abby yang tanpa menunggu lama langsung diimplementasikannya.

Di malam yang sama, kemarin malam, setelah lelaki itu mengantarkan Vanessa pulang ke rumahnya, seperti yang selalu dilakukannya jika mereka pergi berdua, dia berbicara kepada kedua orang tua Vanessa dan menyatakan niat 'mereka' untuk menikah. Yang tentu saja diterima oleh kedua orang tua gadis itu dengan senang hati yang terlalu berlebihan, karena Abby memang menantu idaman kedua orang tua Vanessa.

Vanessa membuyarkan lamunannya dan mengambil ponselnya yang tergeletak di samping nakas sambil masih berbaring di ranjangnya. Dia mengetik message melalui whatsapp kepada nomor paling atas di list chat-nya.

By, lagi sibuk?

Lima belas detik setelah Vanessa meletakkan ponselnya kembali di atas nakas, benda itu kembali berbunyi dan membuat Vanessa merebutnya kembali untuk mengintip pesan yang muncul.

Ada pasien. Entar gue telp.

Jawaban singkat dari Abby membuatnya kembali meletakan ponsel tersebut untuk kedua kalinya.

Vanessa kembali mengawangkan pikirannya kepada lelaki itu, Irwin Abigail, sahabat terbaiknya sejak pertama kali masuk SMA. Kalau dihitung-hitung, dia sudah mengenal lelaki itu lebih dari lima belas tahun dan kini dia sudah menjadi seorang dokter spesialis Obstetric & Gynecology. Vanessa yakin, tidak ada orang yang lebih mengenal Abby dibanding dirinya sendiri setelah mengenalnya selama itu. Dia bahkan lebih memahami Abby dibanding keluarganya maupun seluruh mantan-mantan pacarnya yang semuanya telah dikenalnya dengan baik. Begitu pula sebaliknya, tidak ada yang lebih mengenal Vanessa dibanding sahabatnya tersebut.

Namun mendengar usulan dan tindakan Abby semalam tentang pernikahan membuatnya tampak begitu bodoh karena ketidakpahamannya.

Ponselnya kembali berdering panjang menuntut reaksi pemiliknya. Vanessa tersadar dari lamunannya dan buru-buru menekan layarnya sebelum mendekatkan ponsel itu ke telinganya, masih dalam posisi berbaring.

"Masih pusing pala lo?" tanya suara dari seberang secara langsung tanpa mengucapkan kata pembuka seperti 'halo', kebiasaan lelaki itu saat berbicara dengan sahabatnya.

"Nggak. Udah bener otak gue." Jawab Vanessa asal yang membuat lawan bicaranya tertawa.

"Bagus deh. Dari jawaban aneh lo itu, gue udah tau kok otak lo udah lempeng." Dia melanjutkan lagi sebelum Vanessa sempat berkata apa-apa, "Dimana lo?"

"Ranjang," jawabnya singkat, "Baru bangun."

Lelaki itu kembali tertawa sambil menyempatkan mengejek, "Dasar koala raksasa!" Abby memang tahu dengan jelas teman baiknya ini memiliki hobi tidur yang berlebihan. Itu bahkan yang menjadi alasan utamanya mencari pekerjaan yang tidak menuntutnya akan waktu dan bangun pagi. Sebagai Investment Analyst.

"Bodo!" balasnya tidak peduli, "Masih ngantuk nih gue."

"Jadi kenapa tadi wa gue?"

"Hmm..." Vanessa berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menyelesaikan rasa penasarannya ini.

Abby terlalu mengenalnya, dan sebuah kata itu saja sudah membuatnya paham apa yang hendak ditanyakan perempuan itu. "Mau bahas yang kemarin?"

"Iya."

"Nyokap sama bokap ada ngomong apa lagi?"

"Nggak tau, gue belom keluar kamar. Tapi kemaren malem sih mereka bersorak sorai kayak abis menang lotere setelah lo balik."

Abby kembali tertawa karena membayangkan kelakuan keluarga Vanessa yang sering dilihatnya dengan mata kepala sendiri.

"Lo yakin By?" lanjut Vanessa lagi karena Abby hanya memberikan tawanya tanpa jawaban.

"Hm? Tentang?"

"Meritlah nyong! Dokter kok dodol banget sih." makinya dengan kesal.

"Gue kan udah ngomong ama bokap nyokap lo, ya masa bercanda. Nggak diijinin main ke rumah lo lagi nanti gue."

"Explanation, please?" kata Vanessa meminta penjelasan.

Abby menghela napas panjang, yang dilakukannya untuk bersiap-siap memberikan penuturan panjang, "Lo dipaksa-paksa merit terus, padahal lo belom ada rencana merit sama sekali, betul kan? Dan lo tahu bokap nyokap gue juga sama bawelnya minta gue merit, padahal dengan profesi gue ini, susah cari cewek yang bisa nerima waktu kerja nggak beraturan kayak yang gue lakukan sekarang. Jadi, kenapa kita nggak merit aja? At least, lo aman merit sama gue. We know each other very well, Va."

Vanessa terdiam mendengarkan penjelasannya. Berusaha mencerna pemaparan sahabatnya yang terdengar masuk akal.

"Lo juga selalu bilang mau keluar dari rumah lo segera, dan tinggal sendiri di apartment kayak gue kan?" Tambahnya memberikan alasan yang begitu persuasif menggelitik naluri gadis itu, "Gue memberikan lo tiket keluar dari rumah lo, Nyong!"

Vanessa masih bungkam mendengarkan.

Gadis itu punya satu kebiasaan unik. Setiap kali dia membayangkan sesuatu yang menyenangkan akan terjadi, ada gelanyar aneh seperti kupu-kupu yang menari-nari dan menggelitik perutnya serta perasaan merinding yang membuat belakang telinganya geli. Dan hal ini terjadi sekarang, saat dia membayangkan betapa menyenangkannya hidup bersama dengan sahabatnya ini serta mendapatkan tiket untuk hidup bebas dari keluarganya.

"Jadi, malem ini ketemu bokap nyokap gue?" tanya Abby memastikan.

"Siap, boss!" kata Vanessa dengan nada bersemangat.

***

Marrying My Best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang