Sosial Dua

49 7 2
                                    

Hujan mengawali cerita kami.
Di hari yang tidak kami sangka akan muncul cucuran air bah dari langit itu, kami bertemu. Ruangan dengan ukuran standar, ubin yang masih seadanya, meja kursi yang berserakan, dan papan tulis dengan tempelan stiker bertuliskan 'SOSIAL DUA' peninggalan kakak kelas terdahulu menyambut kedatangan kami dengan desahan pasrah. Mereka seperti tahu akan jadi seperti apa kami ke depannya.

Namun saat itu, aku dan teman-teman Exsotic belum saling mengenal. Aku duduk di bangku pojok belakang.  Hal ini bukan karena aku seorang pengecut, tetapi karena aku sadar bodi. Ya, bodiku memang tidak seramping yang lainnya. Maka daripada aku duduk di depan dan menghalangi penglihatan teman-temanku, maka aku dengan tulus ikhlas duduk seperti pengecut.

"Perkenalkan namaku Ayari. Kalian bisa memanggilku Aya."

Aku menyebutkan namaku dan memulai dunia baruku di kelas IPS 2. Awalnya tidak ada yang mengesankan, aku memainkan pulpen sambil mengamati sekitar. Memang tidak ada yang spesial.

Aku lalu berjalan menuju depan kelas dan berniat menghapus cacatan guru sebelumnya yang masih memenuhi papan tulis. Secara tidak sengaja aku menyentuh stiker yang bertuliskan 'Sosial Dua'.

Dua kata itu secara tiba-tiba menyadarkanku akan keberadaanku di sana. Aku anak IPS, dan aku yang memutuskan masuk IPS. Jadi bagaimana mungkin jiwaku masih belum ada di kelas ini?

"Yak, ke kantin, yuk!" ajak Rahma teman satu bangkuku.

"Enggak lah, aku masih kenyang." aku menolak dengan halus.

Tentu saja alasan itu masuk akal, karena memangnya ada tujuan selain makan saat kamu pergi ke kantin? Saat itu aku memang polos. Memikirkan suatu hal dengan pikiran lurus.

Perhatianku kembali tersita oleh dua kata tadi, seolah kata-kata itu adalah magnet yang memaksaku untuk mendekat lebih. Memaksaku untuk berfikir, aku anak IPS dan aku masih belum bisa melupakan latar belakangku sebagai fan berat Biologi. Aku merasa telah salah memasuki peradaban dunia. Aku tidak paham cara berfikir anak IPS. Anak IPS malas lah, nakal lah, urakan lah... dan lah lah yang lain. Pokoknya tidak ada sebutan manis untuk anak IPS.

'SOSIAL DUA', kata itu membuyarkan lamunanku.

Baiklah, aku akan membuktikan pada dunia bahwa anak IPS tidak selamanya sebagai penyandang citra buruk. Anak IPS pasti bisa mempercantik citra, dan aku berjanji menjadi salah satu agent of change.

Hidup anak IPS! Hidup para agen of change yang gagal!

Kelas SampahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang