Prolog

22 0 0
                                    

The Best Thing : Memegang janji bunda untuk makan malam bersama (Hira)

            Rumah baru. Tetangga baru. Kota baru. Daerah baru. Negara baru. Semuanya sudah cukup melelahkan bagi Hira. Mengapa tidak? Ia menjalani semuanya hampir setiap enam bulan sekali. Pindah dari satu tempat, menuju tempat baru yang terasa begitu asing dan menyeramkan. Tak ada yang tahu; kecuali hati kecilnya.

            Hari terus berganti. Libur sekolah pun telah dihabiskannya secara cuma-cuma dan terlewat begitu saja. Hira sama sekali tidak menikmati kehidupan barunya di Indonesia. Ia begitu merindukan Sheffield, tanah kelahirannya.

            “Besok hari pertama non Hira sekolah, nanti biar diantar sama Pak Jafra,” tutur seseorang dengan lembutnya sambil menghidangkan makan siang di atas meja. Itulah Mbok Yumi, yang setia mengabdi pada keluarga besar Hira sejak dulu. Sebelum meninggal, eyang pernah berpesan agar kelak Mbok Yumi tinggal bersama Yudia dan keluarganya. Semuanya eyang lakukan karena beliau tahu jika suatu hari cucu kesayangannya itu akan merasa kesepian tanpa belaian seorang ayah dan hangatnya dekapan ibu yang lebih mementingkan pekerjaan mereka ketimbang buah hatinya sendiri.

            Sembari menghela nafas, Mbok Yumi tersenyum sejenak memandang paras Hira yang terlihat begitu kecewa, dan seakan-akan memahami suatu hal yang tidak bisa ditepis olehnya. Mbok Yumi yakin bahwa jalan keluar yang akan ia berikan mampu membuat Hira tersenyum senang; meskipun sebetulnya ia juga tahu hal ini tak akan bertahan lama.

            “Tapi besok malam, Bu Yudia bilang kalau beliau akan makan malam di sini, bareng Non Hira,” tuturnya lagi. Ternyata dugaan Mbok Yumi benar. Hira memang tersenyum; senyuman yang membuat hati kecilnya meluncurkan hujan air mata dengan begitu derasnya. Dalam do’a, ia begumam.

            ‘Sampai kapan aku akan merasa terus kehilangan sosok Yanda dan Bunda? Aku nggak kuat’

Sebelum Satu dan EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang