The Best Thing : Kelayapan lagi (Hira)
Tahun ajaran kali ini sebetulnya sudah Hira rencanakan matang-matang. Hira berencana untuk duduk bersama Alice di kelas musik, dan bersama Josh di kelas matematika; karena ia tahu Josh adalah segalanya dalam hal matematika. Bahkan, Josh dan Alice pun sudah berencana untuk duduk bersama di kelas sastra. Karena mereka tahu, Hira akan bersikap pelit tiap kali diadakan tes tertulis mengenai kemahiran berbahasa. Dan mereka akan berpura-pura memusuhi Hira satu hari penuh. Tadinya, Hira juga akan menghabiskan libur musim panas bersama ‘si kembar’ yang telah lama menjadi sahabatnya itu. Bahkan, ia pun tak lupa untuk menulis semua rencananya pada buku agenda kesayangannya. Pergi berlibur ke Cannes bersama Josh dan Alice, berkemah di pekarangan rumahnya, dan menonton DVD di kamar Alice yang ditakdirkan untuk selalu berantakan. Namun, Hira benar-benar cinta tempat itu. Ia menemukan kehangatan keluarga kecil yang selama ini ia cari. Ia menemukannya dalam sosok dua orang sahabat yang kini harus ditinggalkannya.
Seminggu menjadi warga masyarakat pada salah satu provinsi di Indonesia memang tidak terlalu buruk. Meskipun ia tidak tahu bagaimana cara makan menggunakan jari-jemari, ketika ia tersesat dan memilih untuk makan siang di sebuah restoran sunda.
Namun, bukan berarti hal itu membuatnya trauma untuk bepergian sendiri. Ia tetap merasakan kebebasan hati yang diinginkannya selama ini; meski tanpa hangatnya kebersamaan keluarga.
Di sekolah barunya, Hira cenderung menutup diri dari orang-orang di sekitarnya. Jauh berbeda dengan hubungan pertemanannya ketika masih menetap di Sheffield. Pergaulannya cenderung sempit, tidak seperti saat ia masih bersama dengan Josh dan Alice.
Sore itu Hira kembali memberanikan diri untuk kelayapan seusai jam sekolah. Ia berencana untuk mengitari kota barunya dan berharap dapat menemukan toko buku yang kaya akan diskon.
---------------------------------------------------------------------------------------------
The Best Thing : Teman pertama (Hira)
‘I dedicate this song to you
The one who never sees the truth
That I can take the way your hurt
Heartbreak girl’
Mendengar alunan musik ber-genre pop rock, membuat Hira merasa terpanggil untuk mendengarkannya lebih lama lagi. Bahkan, ia merasa penasaran siapa orang yang melantunkan lagu tersebut dengan sangat menakjubkan. Ia merasa semakin terpanggil untuk masuk ke dalam, dan menyaksikan siapa yang berada di atas panggung kecil itu; hanya untuk melihat sang musisi secara langsung. Jujur, detik itu adalah kali pertama baginya merasa tertarik pada suatu hal yang berkenaan dengan musik. Hati kecilnya berterima kasih, karena telah dipertemukan pada sebuah lagu yang membuat jiwanya menemukan ketenangan dari derasnya hujan di seberang sana.
Hira melangkahkan kakinya satu demi satu. Dalam do’anya ia berharap agar Tuhan menganugerahkan sesuatu yang berbeda di dalam cafe itu.
“Lho?! Lu anak Rafflesia kan? Anak baru yang sekarang di kelas Sebelas E?” Seulas senyuman manis nampak menyertai pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang pemuda yang berdiri tegap di hadapannya.
Hira nampak bingung dan heran. Serasa ingin menjawab iya, namun terasa perlu untuk menggelengkan kepala. Hira merasa pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya, tapi entah di mana. Tiba-tiba, pemuda itu tersenyum lagi. “Nggak masalah kalau lu lupa. Wajar kok. Kita kan baru sekelas dua hari doang,” tuturnya ramah. “Dari kapan ada di sini?” Lanjutnya bertanya.
“Baru masuk barusan kok. Tadi kehujanan, jadi terpaksa deh berteduh di sini,” jawab Hira dengan polosnya.
“Lucu juga ya kita, teman sekelas tapi belum saling kenal,” tambah pemuda itu sambil menyerengeh.
“Eh beneran deh, maaf banget, soalnya.....”
“Nggak, nggak, nggak. Nyantai aja, gua ngerti kok biasanya kalau baru-baru masuk emang masih suka nggak hafal sama anak kelas, tapi nggak apa-apa, lagipula juga nggak masalah kali,” jelas pemuda itu sopan. Hal itu membuat Hira merasa sedikit lega, dan menyunggingkan seulas senyum. “Oh ya, boleh bareng di sini?” Lanjut pemuda itu bertanya dengan gestur yang menunjuk ke arah kursi menggunakan telunjuknya.
“Emm, bolehlah, silahkan aja,”
“Nama lu Mahira kan? Kenalin, gua Drevian,”
---------------------------------------------------------------------------------------------
The Best Thing : Canggung yang menakjubkan (Vian)
Drevian memarkirkan sepeda motornya di pekarangan rumah. Perlahan, ia melepaskan helm dan membisikkan sebuah do’a indah di dalam hatinya. Nampaknya, do’a itulah yang berhasil membuatnya kuat untuk kembali pulang ke rumah setelah sumpah serapahnya yang baru ia lontarkan pagi tadi.
Melihat garasinya yang kosong, membuat hati kecil pemuda itu bersyukur setengah mati. Ia buru-buru mengeluarkan kunci rumah cadangan dari saku celana jeans yang dikenakannya sejak tadi. Masuk ke rumah, mengunci kembali pintunya, masuk ke dalam kamar, dan berdiam diri di sana; benar-benar kesepian.
Mendadak, Drevian teringat pada pertemuan canggungnya dengan Mahira sore tadi. Ia menyunggingkan seulas senyum sambil mengingat-ngingat hal apa saja yang dijadikan bahan obrolan oleh mereka berdua. Obrolan yang membuat mereka berdua semakin canggung, bukan semakin akrab. Mereka berdua terlihat seperti dua manusia yang diam-diam saling memendam perasaan sehingga merasa begitu canggung ketika dipertemukan. Namun anggapan itu ditepis sendiri oleh hati kecilnya.
“Nggak sekarang, mungkin nanti,” gumamnya sambil memandang langit yang semakin menghitam di luar sana.
Mungkin nanti? Apa maksudnya?..........