Jill mendorong sepedanya dengan terseok-seok. Rantai sepedanya putus dan tergantung dengan tak berdaya di setang. Roda depannya sudah tak berbentuk bulat lagi dengan ruji-ruji yang mencuat ke sana ke mari. Ban kempis dan ada lumpur tebal disisi-sisinya. Terlihat sangat tidak baik. Pasti ayahnya, Mr. Moore, akan memarahinya habis-habisan.
Jack yang berjalan dibelakangnya pun terlihat tak sama baiknya dengan sepedanya. Tubuhnya dipenuhi lumpur hingga wajahnya hampir tak terlihat lagi. Bajunya sobek di bagian pinggang. Untungnya tidak ada luka mengerikan. Hanya memar di bagian jidat, tangan, dan kakinya. Perfect. Dipastikan Mrs. Moore, ibunya, akan menceramahinya semalaman.
"Oh, ayolah, Jack! Jangan merengek begitu. Lagi pula ini semua salahmu!" kata Jill geram.
"Salahku?! Kau yang mengajakku ke ladang itu!" seru Jack sambil menyingkirkan lumpur di pelipisnya.
"Yaah... memang aku yang mengajak. Tapi kalau kau tidak berteriak, Uncle George tidak akan memergoki kita," ujar Jill membela dirinya.
"Tapi ada laba-laba! Kau tak tahu seberapa banyak dan besarnya mereka. Mereka sebesar truk dan akan memakanku!" ujar Jack setengah menjerit. Ia bergidik ngeri membayangkan kembali peristiwa tadi. Jill menggeram dan berbalik menghadap Jack.
"Kau berlebihan," kata Jill sambil berkacak pinggang dengan satu tangannya menyangga sepeda.
"Yah, oke, mungkin tak sebesar truk. Tapi tetap saja mereka hewan yang mengerikan," kata Jack sambil mengangkat bahunya. Jill memutar bola matanya dan berbalik, kembali melanjutkan kegiatannya mendorong sepeda rusak.
"Huh, aku punya adik laki-laki, tapi penakutnya minta ampun. Laba-laba. Hah! Kau tidak akan bisa menjadi lelaki sejati kalau masih saja takut pada laba-laba," kata Jill lagi. Jack mendengus mendengarnya. Ia masih punya waktu sampai bertahun-tahun lagi untuk menjadi lelaki sejati. Itu bisa diurusnya nanti.
Kakak beradik itu telah sampai di ujung jalan menuju rumah mereka. Begitu melewati gerbang, Jill melihat ayahnya telah berkacak pinggang. Ibunya yang baru keluar dari rumah langsung mematung di tempat. Matanya membelalak dengan tangannya memegang dada. Mulutnya bergerak membentuk kata "Ya, Tuhanku," berkali-kali.
"Oh, tidak. Uncle George pasti sudah menelepon Ayah dan Ibu," kata Jill geram.
"Jill...," Jack bergerak mendekati Jill. Ia menarik ujung baju Jill dan bersembunyi di belakangnya.
"Biar aku yang bicara, kau diamlah," bisik Jill. Mereka berjalan mendekati ayahnya sambil menundukkan kepala.
"Oke, sekarang katakan padaku!" kata Mr. Moore tegas. Jack mengkeret di belakang Jill mendengar nada suara ayahnya.
"Mm... Kami tadi sedang bersepeda. Lalu, sepedanya oleng dan menabrak pohon. Dan Jack jatuh ke lumpur," jelas Jill lirih. Ia langsung memejamkan matanya dan berdecak kecil mengetahui penjelasannya yang sangat tidak meyakinkan. Mr. Moore mencondongkan tubuhnya mendekati Jill.
"Jill, kau tahu pasti apa yang paling tidak Ayah sukai."
"Aku tidak berbohong! Itu yang terjadi. Tanya saja Jack," jawab Jill setengah merengek. Jack terkejut karena tiba-tiba namanya disebut. Seketika ia mengangguk-anggukkan kepalanya dengan cepat. Barangkali bisa membantu meyakinkan ayahnya.
"Oh, ayolah, Jill. Kau tahu kau sedang berbohong. Dan kau akan mengatakan yang sebenarnya," kata Mr. Moore mulai tak sabar.
Jill berpikir cepat. Tapi sudah tidak ada jalan lagi. Ayahnya pasti sudah mengetahui semua ceritanya dari Uncle George, dengan tambahan-tambahannya. Mereka tidak akan selamat sampai Jill mengatakan yang sebenarnya.
"Baiklah.... Sebenarnya, kami hanya melakukan sedikit... petualangan," kata Jill sambil mengangkat bahunya. Mendengar perkataan Jill, Mr. Moore mengangkat sebelah alisnya.
"Itu tidak sengaja, Yah. Kami hanya melakukan sedikit petualangan dan tanpa sengaja petualangan itu terjadi di ladang Uncle George," kini Mr. Moore mengerutkan keningnya.
"Lalu, Jack berteriak, Uncle George memergok... maksudku melihat kami. Ayah tahu sendiri Uncle George sangat galak pada anak-anak. Ingat waktu musim panas tahun lalu, dia...."
"Lalu?" potong Mr. Moore. Jill kembali menundukkan kepalanya dan melanjutkan cerita tragedinya.
"Lalu, karena terkejut aku langsung mengayuh sepedaku dengan cepat. Jack membonceng di belakang. Lalu, ada jalanan berlumpur dan menurun. Sepedaku oleng dan menabrak pagar. Dan Jack... terlempar ke kolam babi," Jill mendengus menahan tawa begitu menyelesaikan ceritanya. Dia terkikik geli mengingat peristiwa Jack berkubang di kolam babi milik Uncle George. Jack yang berada di belakangnya memukul lengan Jill dengan kepalan tangannya hingga kakaknya meringis kesakitan. Jill hendak membalas perbuatan adiknya, tapi kemudian Mr. Moore berdeham, dan Jill pun kembali ke sikap menyesalnya.
"Maafkan kami, Yah. Kami tidak akan mengulanginya lagi," kata Jill dengan suara mengiba.
"Oh, baiklah. Jujur saja aku tak yakin kalian tak akan mengulanginya lagi. Sekarang bersihkan diri kalian, lalu telepon Uncle George," kata Ayah tegas.
"Ap... telepon? Tapi...."
"Nona, kau sudah membuat masalah dan harus menyelesaikannya. Telepon Uncle George dan minta maaflah padanya. Barangkali ia akan menerima permintaan maaf kalian dengan menyuruh kalian membantunya di ladang," kata Ayah lagi. Ia kini sudah tak berkacak pinggang lagi, tetapi menyilangkan tangannya di depan dada.
Jill menggeram mendengar perkataan ayahnya. Menelepon Uncle George? Jill sangat yakin, Uncle George pasti akan merasa besar kepala mengira telah mengalahkannya. Apalagi jika harus menolongnya bekerja di ladang. Jill sangat tidak ingin membayangkan kemungkinan itu terjadi.
"Aku sudah bosan menghukum kalian. Sekarang kalian minta sendiri hukuman kalian ke Uncle George," tambah Mr. Moore. Ia berlalu sambil melambaikan tangannya, menyuruh anak-anaknya untuk segera melakukan perintahnya tadi.
Jill melihat ibunya yang masih berdiri di depan pintu rumah sedang menggeleng-gelengkan kepalanya. Mrs. Moore lalu menunjuk selang yang ada di samping rumah, mengisyaratkan Jill untuk membantu Jack membersihkan dirinya dari lumpur. Jill menuruti isyarat ibunya. Ia mendorong kembali sepeda rusaknya yang penuh lumpur ke samping rumah. Jack—yang juga penuh lumpur—mengikuti di belakangnya. Jill mengambil selang dan menyalakan keran, lalu menyiram sepedanya hingga lumpur-lumpur berjatuhan menyatu dengan tanah. Setelah sepedanya tampak mendingan, Jill mengarahkan selang ke tubuh adiknya. Jack berjengit merasakan dinginnya air.
"Jill, kau akan menelepon Uncle George? Benar-benar meneleponnya?" tanya Jack di antara guyuran air.
"Urghh... aku tak ingin menelepon orang itu!" kata Jill setengah menjerit. Ia membanting selang ke tanah. Namun, tiba-tiba selang itu bergerak-gerak liar karena tekanan air keran. Jill segera mengejar selang itu, berusaha menangkapnya. Melihat kakaknya kelimpungan mengejar selang, Jack tertawa terbahak-bahak. Yah, mungkin Uncle George harus menunggu. Sekarang menangkap selang lebih penting.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jill & Jack
FantasySatu dari lima karya "Project Penerbit Pesaing". "Jill dan Jack, dua kakak beradik yang sangat menyukai petualangan, hingga seringkali menantang bahaya. Dan mereka adalah anak-anak yang sangat penasaran pada semua rahasia." Cover by me.