Lembaran pertama

322 15 12
                                    


Gadis itu terbangun di pagi yang mendung. Gadis bermata hazel itu menuruni ranjang dan mengernyit saat melihat jam di atas nakasnya tidak berbunyi.

“Aneh, bukannya semalam aku pasang alarm di jam enam, kenapa alarmnya tidak berbunyi? Mungkin rusak.” Batin Sekar.

Tidak. Alarm itu bukannya rusak atau tidak berbunyi. Alarmn itu berbunyi sangat nyaring dan suaranya terdengar hingga kamar milik kakaknya. Sang kakak-Dikta mengernyitkan dahinya bingung. Pasalnya, Sekar selalu bangun lebih awal dari alarm yang dipasangnya.

“Apa Sekar belum bangun?” pikirnya.

Dia pun memutuskan untuk membangunkan sang adik, namun saat membuka pintu dia melihat Sekar tengah berdiri di depan jendela.

“Dia sudah bangun, tapi kenapa tidak mematikan alarmnya?” batin Dikta.

Dikta memanggil Sekar, namun Sekar tetap terdiam. Akhirnya, Dikta memutuskan untuk menepuk pundak adiknya. Sekar menoleh mendapati sang kakak tengah memandangnya.

“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Sekar.

....

Sekar mengernyit saat tidak mendengar jawaban dari Dikta. Dia melihat bibir sang kakak bergerak mengucapkan sesuatu, tapi kenapa dia tidak bisa mendengar suara apa pun? Kenapa ini?

“Sekar, kamu dengar Abang? Alarm kamu berbunyi kenapa nggak dimatikan?”

Sekar mematung. Tubuhnya bergetar. Matanya berkaca-kaca. Dikta menatap adiknya bingung.

“Sekar, kamu kenapa? Kenapa nangis?” tanya Dikta khawatir. “Jawab Abang, Sekar. Katakan sesuatu.”

“A-a-abang, a-a-aku nggak bisa mendengar suara apa pun.”

❤❤❤

Sekar berdiri di atas balkon kamarnya. Matanya terpejam, terdapat jejak air mata diwajahnya. Dia menghela napasnya berat. Sesak. Kenapa takdir begitu kejam padanya? Tidak cukupkah dia kehilangan kedua orangtuanya saat dia masih kecil. Sekarang dia harus merasakan kehilangan kembali.

Dikta memperhatikan Sekar sejak tadi. Dia terluka melihat keadaan Sekar yang terus murung sejak kepulangannya minggu lalu dari rumah sakit.
Sekar mengidap Sudden Deafnes parah karena terlambat untuk mendapatkan terapi pengobatan penderita Sudden Deafnes (kehilangan pendengaran mendadak) karena Sekar menganggap remeh telinga yang berdengung saat di keramaian atau pun setelah menggunakan ponsel. Dokter hanya menyarankan Sekar untuk memakai alat bantu dengar yang sudah di rekomendasikan.

Sejak saat itu Sekar mengurung diri di kamar. Menutup diri dari dunia luar karena malu jika harus berbaur dengan orang lain. Rima dan Lea bergantian membujuk Sekar untuk kembali melakukan aktifitas, namun selalu ditolak oleh Sekar. Hingga Dikta menyuruh Rima dan Lea untuk memberi waktu bagi Sekar untuk menenangkan diri.

Perlahan, Dikta mendekati Sekar. Dipeluknya tubuh Sekar dari belakang. Sekar menoleh ke samping dan tersenyum kecil yang di iringi tetesan liquid bening dari matanya. Dikta mengeratkan pelukannya, Sekar pun makin terisak membuat Dikta tidak bisa menahan air matanya.

Beberapa menit setelahnya, Dikta membawa Sekar masuk ke dalam kamar. Dikta menyodorkan sesendok bubur kepada Sekar namun, Sekar mengambil sendoknya dari tangan Dikta.

“Aku bisa sendiri, jangan memperlakukan aku seperti gadis cacat, Bang.” ujar Sekar kalem.

Dikta menghela napasnya dan mengangguk pelan. Dikta menemani Sekar makan, sesekali tersenyum saat melihat senyum yang tersungging di wajah adiknya. Sekar meletakkan mangkuk yang isinya tinggal sedikit di atas nakas.

“Aku sudah kenyang.” Ujar Sekar saat melihat alis Dikta bertautan.

“Baiklah.” Jawab Dikta. Sekar melihat gerakan itu dibibir Dikta.

“Apa Abang nggak mau masuk kerja? Ini sudah tiga hari Abang cuti.”

Dikta menggeleng pelan saat Sekar bertanya.

“Kenapa? Abang takut Sekar kayak kemarin?”

Dikta tidak menjawab hanya melihat mata hazel milik adiknya dengan lirih.

“Besok, masuk kerja saja Bang, Sekar nggak akan melakukan hal seperti kemarin. Sekar janji Bang, Sekar nggak akan melakukan hal bodoh lagi.”

Dikta takut saat dirinya tidak berada dirumah seperti kemarin, Sekar melakukan hal yang membahayakan nyawanya. Jika saja dia telat beberapa menit, dia akan kehilangan adiknya. Sejak itu, Dikta agak takut jika meninggalkan adiknya sendiri saat dia bekerja.

“Aku janji, Bang.”

Dikta menatap mata hazel milik adiknya dengan intens. Sekar mengambil ponselnya dan mengetikkan sebuah chat untuk Dikta.

SekarAndini:
Aku memang nggak bisa mendengar. Tapi aku bisa melihat. Hidupku nggak akan berhenti sampai di sini. Cukup kemarin aku melakukan hal bodoh. Tuhan bisa murka saat Sekar tidak menghargai hidup Sekar. Sekar mohon, abang tetap kuat di samping Sekar. Kita masih bisa berkomunikasi lewat ponsel atau buku. Jangan khawatirkan Sekar.

Ponsel milik Dikta berdering, Sekar menyuruh Dikta untuk membuka ponselnya. Dikta termenung sejenak saat membaca pesan dari adiknya. Lalu Dikta membalas pesan dari Sekar.

            DiktaArdian:
Kamu adik abang yang hebat. Tersenyumlah. Abang akan selalu ada untuk kamu.

Sekar terharu mendapat balasan dari sang kakak. Di peluknya Dikta dengan erat dan Dikta membalas pelukan dari Sekar.

❤❤❤

SEKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang