Lembaran Kedua

186 10 6
                                    

(Part sebelumnya)

Sekar menuntun sepedanya sepanjang jalan, sesekali dia meringis karena luka dilututnya terasa perih. Hari beranjak gelap saat Sekar sampai dirumah. Dilihatnya Dikta yang hendak masuk dalam mobil. Dikta melangkah dengan terburu-buru saat melihat Sekar yang berjalan tertatih sambil menuntun sepedanya. Dari dekat Dikta dapat melihat luka lebam di sekujur tubuh adiknya. Sekar menatap Dikta dengan berkaca-kaca. Tanpa berkata apapun, Dikta memapah tubuh Sekar untuk masuk ke dalam rumah setelah menaruh sepeda adiknya dengan sembarangan. Setelah Sekar duduk di sofa, Dikta bergegas menuju dapur untuk mengambil baskom berisi air hangat dan kotak P3K. Dikta membersihkan luka di lutut Sekar dengan hati-hati. Kemudian mengalirlah kronologi yang membuat adiknya terluka seperti ini.

Dikta hanya terdiam saat Sekar bercerita. Dia menyalahkan dirinya karena lagi-lagi lalai dalam menjaga adiknya. Tapi diamnya Dikta membuat Sekar salah paham.

“Abang marah?,” tanya Sekar
Dikta menggeleng pelan sambil membebat lutut Sekar dengan kassa.

“Kenapa Abang diam saja?”
Dikta mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan untuk Sekar.

Abang gak marah dek, Abang khawatir pas Abang pulang dari kantor gak nemuin kamu di dalam rumah..
Dikta menyerahkan ponselnya kepada Sekar. Sekar membaca tulisan itu dengan perasaan bersalah.

“Maafin Sekar Bang, Sekar tadi lupa buat sms Abang.” Ujar Sekar.

Abang maafin. Asalkan jangan diulangi lagi. Kamu boleh ke mana aja asalkan kasih tau Abang biar Abang gak khawatir sama kamu. Paham?

Sekar menganggukkan kepalanya pelan “Sekar paham Bang.”

Dikta tersenyum lembut sambil mengusap kepala Sekar dengan pelan.

“Abang harus cepat nikah, usia Abang udah hampir 30 tahun. Tapi masih betah sendiri.”

Dikta mengangkat bahunya tak peduli sambil membereskan kotak P3K dan baskom bekas membersihkan luka Sekar. Sekar menggertakkan giginya dengan gemas.

“Abang ih, Sekar serius. Abang harus cari calon istri.” Ujar Sekar saat sang kakak menuju dapur.

Dikta kembali ke ruang tamu sambil mengetikkan pesan.

Oke. Abang akan cari calon istri. Mau calon kakak ipar yang kayak gimana, dek?

Sekar membaca pesan itu dengan gemas. Lalu mencubit pinggang sang kakak tanpa mempedulikan Dikta yang mengerang kesakitan “Aduh-duh-duh, sakit Dek,”

“Sekar gemes sama Abang, Abang nanya nya kayak nawarin beli baju aja.”

Abang, serius tau Dek. Abang belum nemu yang sesuai tipe Abang. Kebanyakan cewek yang pernah dekat sama Abang cemburu karena Abang selalu mengutamakan kamu daripada mereka.

“Maaf ya Bang, karena Sekar Abang jadi begini.” Sekar merasa tak enak karena kehadirannya menjadi hambatan untuk sang kakak dalam mencari kekasih.

Kamu gak perlu minta maaf dek, justru
Abang cari yang bisa terima kamu apa adanya. Bisa jadi sahabat kamu. Bukannya sibuk dengan segala macam riasan wajah. Jadi jangan merasa bersalah. Jodoh buat Abang pasti datang kok.

Sekar tersenyum lalu menghambur ke pelukan Dikta. Dikta membalas pelukan Sekar dan mengecup kening Sekar dengan lembut.

♡♡♡

Sekar menyesap kopinya dengan perlahan. Dia tengah berada di Book Cafè-sebuah kedai kopi dengan konsep perpustakaan kecil. Di sana para pelanggan dapat meminjam buku dan membaca di sana. Book Cafè yang di kelola oleh Sekar sudah berdiri selama 2 tahun sudah memiliki banyak pelanggan tetap. Sekar memperhatikan situasi di dalam Book Cafè yang terlihat damai. Jam menunjukkan pukul lima sore, pantas saja Book Cafè sudah ramai. Hampir semua kursi sudah penuh, bahkan di lantai dua yang memiliki konsep lesehan karena sebagian besar koleksi buku ada di sana.

Alunan lembut musik yang di pasang dengan volume kecil pun membuat semua orang makin enggan beranjak. Pelanggan Book Cafè kebanyakan dari kalangan para mahasiswa dan remaja SMA. Entah sekedar ngedate, mengerjakan tugas kelompok, pun dengan bersantai membaca novel. Sekar memperhatikan para waitress yang mengantarkan pesanan.

Sekar kembali menyesap kopinya, lalu memotong sedikit brownies kesukaannya. Tanpa Sekar sadari, Dikta datang menghampiri dirinya yang tengah menikmati kudapan manis itu. Saat Dikta sudah duduk di hadapannya, Sekar baru menyadarinya dan hanya tersenyum manis.

“Abang baru pulang dari kantor?” Tanya Sekar saat melihat Dikta masih memakai kemeja dan dasinya.

Dikta mengangguk pelan, lalu mengecup kening Sekar dengan hangat. Siapa pun yang melihat adegan tersebut mengira jika Dikta dan Sekar adalah pasangan yang romantis. Dikta menyeruput kopi milik Sekar dan meyesapnya dengan perlahan.
Setelah meletakkan cangkir, Dikta mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi chat.

DiktaArdian:

Kopi buatan cafè mu sangat enak ^^

Sekar mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja saat Dikta menyuruhnya. Dia membuka chat dari Dikta lantas tersenyum senang.

“Makasih, Bang.”

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan kegiatan mereka. Lalu, dia memutuskan untuk menghampiri dua pasang manusia yang telah membuat iri sebagian pengunjung.

“Ehem.”

Dehaman itu membuat Dikta memalingkan wajahnya dari Sekar yang tengah membaca sebuah novel. Dikta mengerutkan dahinya bingung.

“Kenapa?” tanya Dikta datar.

“Itu..” ujarnya tak jelas tapi matanya menatap Sekar tanpa berkedip.

“Ada perlu apa sama dia?” tanya Dikta datar.

“Gue Cuma mau minta maaf.” Ujarnya.

“Minta maaf buat apa?” tanya Dikta lagi.

“Gue pernah nabrak dia pas di taman.”

Dikta menarik kasar kerah baju milik pria itu, Sekar menoleh saat meja yang dia tempati berderak kasar. Matanya membelalak saat melihat Dikta yang mencengkram kerah baju milik seorang pria. Sekar menghampiri Dikta yang menatap garang pria di hadapannya. Sekar memegang lengan Dikta dengan lembut.

“Abang, kenapa? Jangan berantem? Udah Bang, lepas. Malu dilihat banyak orang” ujar Sekar.

Dikta segera melepaskan cengkramannya pada pria itu dan mengambil ponsel serta novel milik Sekar dan bergegas keluar dari Book Cafè. Sekar tertatih mengikuti langkah milik Dikta. Dikta membukakan pintu penumpang dan menyuruh Sekar masuk. Sekar yang bingung hanya mengikuti perintah sang kakak. Dikta menstarter mobilnya dan melajukannya meninggalkan pelataran parkir Book Cafè.

“Abang kenapa mau berantem tadi?” tanya Sekar namun, Dikta hanya terdiam sambil mencengkram stir kemudi dengan kuat. Sekar yang melihat rahang Dikta yang mengeras lantas terdiam.

Selama perjalanan menuju rumah mereka terdiam. 45 menit kemudian mobil mereka memasuki pelataran rumah. Sekar masih membisu dan hanya mengikuti langkah Dikta. Sekar menarik lengan Dikta saat dia hendak naik ke lantai dua.

“Abang, jawab Sekar, Abang kenapa?,”

Dikta mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan pesan.

Kamu gak ingat dia? Dia yang udah nabrak kamu dan ninggalin kamu gitu aja.

“Oh? Pantas aja seperti nggak asing. Terus kenapa Abang marah?,”

Jelas Abang marah, dia udah bikin kamu terluka tapi kamu ditinggal begitu aja!

“Abang berlebihan. Aku tidak apa-apa, jangan karena aku Abang jadi kena masalah.”

Abang sayang sama kamu, Dek, siapa pun yang udah bikin kamu terluka, akan Abang hajar. Cuma kamu satu-satunya keluarga Abang, dek.

Saat membaca kalimat terakhir, Sekar langsung memeluk tubuh Dikta dengan erat.

“Sekar sayang Abang.”

♡♡♡







Catatan Jasmine: Masih menunggu koreksi dari pembaca khilaf yang nyasar ke sini 😅

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang