Ketika pertama kali membuka mata, aku tersadar diriku berada dalam kegelapan yang pekat. Keheningan yang lengang. Dan kekosongan yang dalam. Entah ada di mana aku sekarang.
Aku merasa takut. Ketakutan itu membungkusku pelan-pelan. Menenggelamkanku dalam-dalam.
Apa yang terjadi?
Tiba-tiba sekelebat bayangan muncul seperti kilasan-kilasan gambar yang melesat di depan mataku.
Sebuah truk besar. Lampu depannya menyorot langsung ke wajahku. Silau. Klaksonnya berbunyi nyaring dan panjang, memenuhi gendang telingaku hingga berdengung. Dengungnya membuatku pusing. Hingga gambaran itu memutih lalu pudar.
Dari dalam gambaran kabur, pelan-pelan terlihat jelas cahaya merah dan biru yang berputar-putar. Berasal dari sirine mobil-mobil polisi yang melaju cepat di jalan raya pada sebuah malam. Bunyi sirinenya meraung ke seluruh penjuru kota. Sekali lagi membuatku pusing mendengarnya. Aku melihat diriku sendiri berlari di tepi jalan. Menabrak orang-orang yang lewat dari arah sebaliknya. Menumpahkan jeruk dan apel milik seorang pedagang di persimpangan jalan. Wajahku tampak panik ketika menoleh ke belakang, menyadari mobil-mobil polisi itu semakin dekat. Lalu aku melompati pembatas jalan, mendarat persis sepuluh meter dari truk besar yang sedang melaju kencang. Decit ban menggesek aspal memekak nyaring di telingaku. Membuatku pusing, hingga gambaran itu memutih lagi lalu pudar.
Dari dalam gambaran kabur, pelan-pelan terlihat sebuah pistol. Di dalam genggamanku. Apa? Kali ini terasa benar-benar nyata. Aku memegang pistol, tengah menodongkannya pada seorang wanita. Seorang ibu muda, bersama bocah laki-laki yang gemetaran memeluk pinggangnya. Di sisi lain ruangan, di balik meja kasir pria tua bersandar ketakutan ke dinding dengan tangan terangkat, wajahnya pucat menatapku. Matanya sesekali melirik pesawat telepon di dekat mesin penghitung. Aku langsung mengancamnya untuk tidak coba-coba menghubungi polisi, sembari memindahkan arah todongan pistolku padanya.
Wanita tadi menatapku, tanpa rasa takut sedikit pun. Melihat matanya, melihat caranya menatapku, entah bagaimana membuat hatiku bergetar seketika.
"Kamu sebenarnya tidak ingin melakukan ini, kan? Kamu tahu ini tidak benar. Kamu hanya terdesak. Tapi pilihanmu ini salah. Kamu bisa memilih cara yang lebih baik daripada menodongkan senjata pada pihak yang lemah hanya demi beberapa lembar uang," wanita itu berkata.
Caranya menatapku. Caranya bicara. Wanita itu mengingatkanku pada seseorang.
Ibu ....
Dia bahkan seusia Ibu seperti yang terakhir kali kuingat. Seusia Ibu saat terakhir kali kupeluk erat ....
Tiba-tiba wanita itu berubah menjadi Ibu. Ibu yang bermata lembut. Memiliki senyuman hangat. Matanya penuh kasih saying menatapku.
"Hidup memang keras, Nak. Tapi kamu selalu punya pilihan terbaik, Anakku."
Kata-kata itu seakan datang dari tempat yang jauh. Menggema. Menggetarkan hati dan seluruh jiwaku.
Ibu .... Ibuku ....
Aku membutuhkannya. Ke mana dia? Mengapa dia pergi meninggalkanku sendirian? Mengapa dia pergi sebelum aku siap menghadapi dunia? Mengapa??
Ibu, aku membutuhkanmu.
.
.
.
Mataku terbuka perlahan, namun segera kuhalangi dengan telapak tanganku akibat cahaya menyilaukan yang menembus dari sela-sela dedaunan. Matahari pagi. Ketika memandang ke sekeliling, aku baru menyadari bahwa diriku sedang duduk bersandar pada pohon besar di sebuah taman. Tempat yang asing, kelihatannya aku belum pernah datang ke sini.
YOU ARE READING
The Reason You Were Here
FantasyRen, pemuda 28 tahun, seorang kriminal jalanan. Sebuah kecelakaan fatal yang dia alami seharusnya membuatnya mati. Tapi ketika membuka mata, Ren bertemu dengan seekor kucing bermata kuning mengerikan yang bisa bicara.