Kembali

18 2 0
                                    

Empat tahun sudah berlalu sejak perpisahan kami. Aku sangat merindukannya. Walau tak pernah berjanji untuk menunggu, aku tetap menantinya kembali. Tak pernah sedikit rasa cinta luntur sekalipun keraguan terkadang melanda. Meragu akankah dia masih mencintaiku?

Akan tetapi, aku tetap menepati janjiku untuk tidak menghubunginya bahkan menghentikan setiap media sosial. Aku hanya fokus menyelesaikan studi.

Rasa rindu yang begitu menyesak mendera hingga aku memutuskan mengunjungi sebuah kafe penuh kenangan kami. Kenangan saat kami menikmati waktu bersama sembari tertawa dan berbagi cerita. Aku sangat ingin bertemu. Aku merindukannya. Tanpa sadar sebutir air mata turun.

"Sudah kubilangkan jangan menangis saat nggak ada aku." Suara yang sangat familiar terdengar. Itu suaranya. Aku segera mendongakan kepala. Wajahnya yang terlihat semakin dewasa ada di depanku. Apakah ini mimpi? Aku segera mengucek kedua mata dan mengerjapkannya. Akan tetapi pria yang ada di depanku tersenyum semakin lebar. Ia mengambil duduk di depanku.

"Ini nyata, sayang. I'm here. Aku sudah kembali." Ia mengerling genit. Itu yang membuatku sadar kalau pria yang selama ini kurindukan sudah berada di dekatku.

"Memangnya kamu siapa berani panggil sayang-sayang?" Aku mengingatkan dengan nada ketus kalau dia sendiri yang memutuskan hubungan dan pergi keluar negeri untuk menuntut ilmu bahkan ia ingin supaya aku tidak menghubunginya sama sekali.

"Kamu semakin galak aja sih, babe. Tapi aku tetep suka kok."

"Ih panggil-panggil babe. Aku nggak peduli kamu tetep suka apa nggak!" Aku masih kesal dengan dirinya. Betapa merananya dilanda rindu tanpa bisa mendengar suara atau wajah serta mendengar kabar. Rasa khawatir muncul saat mendengar ada hal-hal buruk ada di negara tempatnya berada.

Tangan hangatnya terulur dan mengelus kepalaku pelan. Kebiasaan yang memicu air mataku meluncur dengan deras. Ia segera berpindah di sampingku dan memeluk dengan erat.

"Maafin aku sudah egois. Aku juga kangen kamu, kangen banget. Tapi demi masa depan, kita berdua harus berkorban selama 4 tahun untuk fokus dengan studi," ujarnya pelan masih memelukku. "Disana rasanya sepi tanpa kamu yang cerewet ngingetin aku, padahal kamu yang pelupa." Refleks, aku memukul punggungnya. Selalu saat terharu begini, dia malah bercanda. "Disana rasanya sendiri tanpa kamu yang selalu tersenyum menyemangati dan mendukung. Syukurlah, semua sudah lewat."

Aku melepaskan diri dari pelukannya. "Disana kamu nggak macam-macam kan?" tanyaku serius.

"Aku macam-macam kok." Tanganku segera naik ingin mencubit tapi tangannya lebih cepat dan memegang tanganku erat.

"Macam-macamnya belajar segala macam tentang administrasi bisnis, sayang. Bukan hal-hal yang ada di pikiranmu. Jadi jangan cubit-cubit ya. Cubitan mautmu bisa bikin tanganku biru."

"Bener nggak macam-macam?" tanyaku memastikan walau sebenarnya aku percaya. Ia mengangguk dengan yakin.

"Sekarang giliranku. Kamu nggak telat makan dan jaga kesehatan kan?"

Aku menggeleng sambil menggerutu, "Gimana bisa lupa makan kalau Ezra terus-terusan ngingetin dan ngajakin aku makan." Dia tersenyum mendengar gerutuanku.

"Tapi Ezra nggak macam-macam kan?"

"Nggak mungkinlah, kalo macam-macam Ezra bakalan dibanting sama ceweknya yang dan 2 judo," jawabku mengingat pacar Ezra yang sangat cantik tapi juga garang.

"Ah baguslah ada yang mengekang cowok mesum macam Ezra itu. By the way, kamu udah nggak marah lagi kan?"

"Siapa bilang aku marah?" Aku bersedekap dan berbalik membelakanginya sambil menahan tawa. Bagaimana aku marah sama orang yang sangat aku rindukan?

"Nah kalo nggak marah kenapa nggak mau lihat aku. Aku kan kangen banget sama kamu." Dia menarik tanganku untuk berbalik, tapi aku menarik tangan. "Ayolah, sayang. Aku pengen lihat wajah cemberut jelekmu." Dia sekali lagi menarikku supaya berbalik.

"Apa jeleeeek?!" Aku pun berbalik dengan wajah garang, namun dia hanya terkekeh geli melihat mukaku yang sok digalak-galakin.

"Kamu nggak cocok memasang wajah sok galak gitu, sayang." Dia bahkan mencubit pipiku gemas.

"No cubit-cubit." Aku segera melepas tangannya di pipi.

"Kamu nggak seneng aku udah pulang?" tanyanya dengan mata menyiratkan sedih.

"Seneng!" sentakku menjawabnya.

"Lalu kenapa galak terus sama aku?"

"Abisnya kamu nyebelin! Nggodain aku mulu. Udah ah bete. Mending aku ketemu sama Valbo aja." Aku segera berdiri dari kursi dan beranjak pergi.

"Valbo siapa itu, babe? Kamu nggak punya pacar baru kan?" Pria itu mengikuti keluar sambil menanyakan tentang kelinciku pengobat rasa rindu. Kelinci yang kunamai dengan gabungan nama kami.


***

Terinspirasi dari Welcome Back - iKON

PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang