BAGIAN 2

20.2K 1K 22
                                    

Justin memilih untuk pulang. Tidak ada alasan yang pasti mengapa ia harus ada di kamar gadis itu, kecuali fakta bahwa ia tertarik dengan gadis itu. Bola mata cokelat yang bersinar, bulu mata yang lentik, bibir yang ranum, dan tubuh wanita dewasa. Justin berpikir bahwa gadis itu pasti berusia duapuluh ke ata, dan kecantikan wajah itu mengingatkannya pada seseorang.

"Kamu pulang? Aku pikir kamu akan menginap di sana dan melakukan yang tidak-tidak."

Justin mengabaikan perkataan Javier dan merebahkan dirinya di sofa. "Aku tidak akan melakukan itu disaat tunanganku baru saja pergi, Vier." Kemudian Justin memejamkan matanya dan pikirannya melayang ke Vanilla. Gadis itu benar-benar membuat Justin penasaran. Matanya yang bersinar saat menatapnya benar-benar menghiptonis Justin.

"Mama memintamu untuk ke rumah malam ini," seru Javier tiba-tiba.

"Kenapa? Apa Mama memintaku untuk menikah lagi? Atau Mama akan mengucapkan selamat untuk kepergian Levina?"

Javier terkekeh kecil. Hubungan Levina dan Sonia memang memburuk. Sonia tidak suka dengan Levina yang memiliki usia lebih jauh dari Justin. Lagipula siapa yang suka jika anaknya yang berusia duapuluh delapan tahun menikah dengan wanita berusia tiga puluh lima tahun.

"Tidak, Mama ingin menemuimu. Sepertinya Mama ikut berduka cita atas kepergian Levina," ucap Javier.

Justin mengembuskan napasnya. "Baiklah, lagipula aku merindukan Rara dan Ira." Justin pun bangkit dan berjalan ke mobilnya. Ia memilih duduk di kursi kemudi dan membiarkan Javier menyetir.

"Tuan Justin..."

Justin menoleh dengan kening berkerut dan turun ketika pria tua yang ia kenali sebagai pengacara Levina datang.

"Aku ada urusan, tunggu di sini," perintahnya pada Javier.

"Ada apa?" tanya Justin kepada pria tua itu.

"Anda harus mendengar surat wasiat Nona Levina."

Justin mengerutkan keningnya. "Apa dia memiliki wasiat?"

Pria tua itu mengangguk. Tidak perlu basa-basi, pria itu langsung mengatakan jika Levina meminta Justin mengurus putri tunggalnya, Vanilla Fernando. Itu permintaannya ketika terjadi sesuatu kepada dirinya.

Justin sangat terkejut. Ternyata Levina membohonginya, wanita itu sudah memiliki putri. Dan sekarang ia diminta untuk menjaga putri tunggalnya yang bahkan tidak ia kenali.

"Di mana gadis itu?"

"Apa anda akan mengurusnya?"

"Itu wasiatnya, jadi aku harus melakukannya, meskipun dia sudah membohongiku." Justin tidak habis pikir. Jika bukan karena sesuatu, ia tidak akan melakukannya. "Ini tidak bertahan lama, kan?"

"Hanya ketika saatnya tiba. Nona Levina meminta anda menjaganya sementara. Untuk tempatnya, aku baru saja menemukan tempat tinggalnya, datanglah ke tempat ini." Pria tua itu lalu memberikan secarik kertas yang bertuliskan alamat Vanilla.

Justin kemudian pergi ke alamat yang pria tua itu berikan. Dan di sinilah Justin berada. Di depan kamar Vanilla. Ia ingat betul kamar VVIP 202 ini.

"Sepertinya kita memang ditakdirkan bertemu, manis," gumamnya ketika sadar akan hal itu. Kemudian ia mengeluarkan kunci cadangan kamar itu dan membukanya. Ia bebas melakukan apa pun di hotel ini, karena hotel ini milik keluarganya.

Setelah masuk, ia melihat Vanilla sedang meringkuk di bawah. Gadis itu terlihat takut dan air matanya turun. Justin begitu panik. Ia berjalan ke arah Vanilla dan memegang pundak gadis itu.

"Kamu siapa?" tanya Vanilla begitu ia memandang Justin.

Justin tidak menjawab. Ia tersihir begitu saja oleh bola mata itu, dan ia begitu bejat karena melihat bibir ranum yang bergerak perlahan itu.

Just You, VanillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang