Catatan harian J. Nicolaas Overstraten.
Bandoeng, 10 November 1941.
Berangkat dari Batavia jam 16.25 sore tadi, naik kereta api agak terlambat di Tjiandjoer dan sampai di Bandoeng jam 19.30. pemandangan yang cukup menarik, terutama di daerah yang oleh orang pribumi disebut Sasaksaat-Poerwakarta. Kereta yang membawaku melewati sebuah lembah sungai yang dalam. Pemandangannya juga cukup menarik, banyak jembatan-jembatan yang terbuat dari baja dan batu bata yang dibuat pada abad ke-19 masih bisa dipergunakan sampai kini. Sepanjang hari itu kereta berjalan dengan malas-malasan, melewati daerah-daerah yang berpemandangan indah dan beraneka ragam.
Kadang-kadang kami melewati sebuah sungai besar yang dasarnya kering penuh dengan batu-batu besar. Tapi setelah itu pemandangan lebih di dominasi oleh hamparan perbukitan, persawahan penduduk lokal dan perkebunan milik perusahaan-perusahaan pemerintah Kerajaan Belanda yang mengitari kawasan itu. Sebentar kita keluar dari bayang-bayang bukit yang satu, lalu tak lama kemudian kami memasuki bayang-bayang bukit yang lain. Tempat itu seperti semacam kuali raksasa.
Sampai Bandoeng, hari sudah mulai gelap. Hujan gerimis tak kunjung berhenti sejak tadi. Suasana jalan Wilhelmina Boulevard begitu sepi. Hanya ada beberapa pasang orang Eropa yang berjalan tergesa dengan mantel tebal mereka berkibar di belakangnya. Kereta kuda yang membawaku berbelok kearah Tjilakiweg yang membelah taman itu. Gedung Gouvernement Bedrijven berdiri anggun di sebelah barat hutan kota itu.
Sungguh, aku tidak menyangka akan menemukan gedung dengan arsitektur begitu megah disini. Gedung yang selesai dibangun tahun 1924 itu, dibangun dengan arsitektur perpaduan antara Moor dan Renaissance dan kini gedung itu menjadi landmark baru di daerah itu.
Kini aku berada di Bandoeng mengunjungi kerabat dekatku yang sudah menetap lama di Bandoeng. Kereta kuda yang mengantarku akhirnya tiba di sebuah rumah di sudut Tjibeunjing Plantsoen Noordstraat. Rumah dengan gaya arsitektur Art Deco tersebut terkesan rimbun dengan lebatnya pohon-pohon yang ditanam di Tjibeunjing Plantsoen di depan rumah itu. Pamanku, Ir. J. Hans Bijkers adalah seorang arsitek yang bekerja di biro arsitek pemerintah yang sudah duapuluh tahun tinggal di Bandoeng bersama istri dan ketiga anaknya.
Paman J. Hans keluar menyambut kedatanganku dengan pakaian jas lengkap dan ia memegang sebuah rokok pipa yang ia hisap dengan antusias ketika melihat kereta kuda yang mengantarku telah sampai di depan rumahnya.
"Ah, Nicolaas. Hoe gaat het? apa kabar?" seru paman menyambutku. "Bagaimana kabar ibumu di Den Haag ? apa dia masih sering menangis jika kamu sedang pergi? pasti masih seperti itu. Dia memang wanita dengan hati yang lembut!". Ujar paman sambil tersenyum lalu kembali menghisap rokok pipanya, lalu memelukku dengan erat.
"Ja, saya baik-baik saja paman. Keadaan Ibu baik-baik saja. Prettig U te ontmoeten, senang bertemu dengan anda paman. Maafkan saya apabila merepotkan paman apabila nanti saya menginap disini".
"Ah, Nicolaas Maakt U zich geen zorgen! jangan cemas, kamu akan diterima dengan senang hati disini . Welkom te Bandoeng". Ujarnya sambil tertawa.
"Kamu sudah melihat gedung Gouvernement itu eh ? pemerintah membangunnya dengan cepat dan biaya yang melampaui perkiraan semula! Mereka sudah bermain-main dengan waktu! Bah! Mungkin J.P Coen akan melompat dari makamnya apabila ia mengetahui hal ini. Hahahaha". Ujar paman sambil tertawa, mungkin itu salah satu leluconnya yang ia buat untuk menggambarkan pemerintahan yang sedang tidak stabil.
Aku dibawa masuk kedalam rumah yang nyaman itu. Di sebuah kursi rotan duduk istri paman, Johanna Roelof Mussel, seorang Botanikus yang telah merancang taman-taman di kota Bandoeng. Di sebelahnya duduk ketiga anaknya. Anna, Jannsens, dan Steven. Anna bersekolah di HBS ( HogereBurgerSchool ) van de Zuster Ursulinen. Sedangkan Jannsens dan Steven bersekolah di MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs ) yang sama yang terletak di Heetjansweg.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALLO BANDOENG
Historical FictionCerita roman fiksi sejarah yang berseting latar Kota Bandung pada tahun 1940. Cerita tentang takdir pertemuan empat orang manusia pada saat perang dunia ke dua dengan perbedaan suku bangsa. Ketertarikan Jonathan dengan Maria, seorang wanita yang me...