RIBBONATE LIFE

481 43 7
                                    

PITA—terulur, terurai, tersimpul, terinjak. Sebuah pita, sebuah awal, sebuah perlambangan, sebuah kehancuran.

BASIS.

Aku selalu di sana, bukan di hulu, bukan di hilir, bukan juga di tengah. Aku berada di antara keduanya, namun bukan di tengah. Evolusi, revolusi, apa bedanya? Sinonimisme ataupun antonimisme sebenarnya tidak bersebrang, mereka hanya saling menatap.

Aku tidak pernah berlawanan terhadap mereka, aku hanya beradu pandang. Aku selalu mengejar pita, benda berujung ganda yang seringkali menjelma tak berujung.

ANABASIS.

Menengadah, menatap langit dengan kumpulan awan menggelap. Sejauh ini, hanya awan yang dapat menatapku dari atas dan tak kenal takut akan absolutisme dariku. Seakan terjebak dalam delusi, jejari mencoba meraih pita imajiner di angkasa. Mantel cokelat tebal basah, menggelap.

Mungkin seperti ini lebih baik. Merasakan hujan, bagaimana rerintik air mengantam permukaan kulit, merupakan keajaiban.

Aku meletakkan payung di balik pintu, melepas sepatu yang basah berkat air hujan. Suasana rumah tak kalah dingin dengan udara luar, membuatku menggigil.

“Ah, Sei-kun! Okaeri!”

Tetsuya mengampiriku, membantu melepas mantel yang sebenarnya tak berguna—berhubung basah. Ia menatapku sejenak sebelum tersenyum, “Lebih baik, kau mandi dahulu. Aku sudah menyiapkan sup tofu untukmu.”

Mengangguk dan membersihkan diri dengan air hangat sebelum berjalan ke meja makan dan duduk bersebrangan dengan Tetsuya. Ia tersenyum lagi, “Makanlah, Sei-kun! Ini spesial untukmu.”

Memang, mesti ku akui, sup tofu masakan Tetsuya ialah yang terlezat. Bukan, bukan sebuah alasan klise akan kekuatan cinta, itu hanyalah buah dari kelas memasak yang belakangan ini mendominasi waktunya.

Ia tetap menatapku yang terjerat akan adiksi dari sup buatannya, bahkan dia tidak menyentuh makanannya dan hanya tersenyum. Aku menghentikan kegiatanku, menatapnya.

“Ada apa, Tetsuya?”

“Kau sedang bermimpi, kan? Sei-kun?”

.

Jantung memompa seakan dikejar malaikat kematian, aku membelalakkan mata, terengah. Jam terus berputar jarumnya, pergerakan terasa di sisiku, aku menatapnya.

“Ada apa, Sei-kun?” Tetsuya mengusap matanya, menguap sebelum menepuk bahu kiriku.

“Ah, tidak.. Aku hanya mengalami mimpi aneh. Ah, mimpi apa, ya?”

Ia tersenyum, menatapku sejenak dan kembali berbaring. “Kau harus bangun bila ingin tahu mimpi apa itu.” Gumaman.

.

“Akashi-kun! Akashi-kun! Bangunlah, sekolah sudah berakhir.”

Aku membuka mata, dapati Tetsuya yang teriluminasi lembayung senja. Ia menatapku, memunggungi jendela kelas. Tunggu, kelas?

“Tetsuya? Apa yang terjadi?”

“Kau tertidur di pelajaran Biologi.”

“Tertidur? Di sekolah? Saat jam pelajaran? Aku tidak mungkin melakukannya, Tetsuya.”

“Tidak mungkin bila ini realitas, Akashi-kun.”

“Apa maksudmu?” Ia tersenyum.

“Karena kau sedang bermimpi, Akashi-kun.” dan menjawab.

.

Aku tersadar, menatap secangkir cokelat panas yang tersaji di atas meja. Apa yang terjadi? Apa yang sedang aku lakukan?

Ribbonate LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang