Black Ribbon

305 28 4
                                        


Collab fic as requested by a reader, made by A.D (First 50%) and A.A (half-end 50%). Main idea of this chapter by A.D.

PRO-A.D

HITAM dan putih.

Adalah aku yang selalu sendiri. Bahkan bila kerumunan menyelimuti, ia tersenyum padaku, atau ia menggenggam tanganku, aku tetap merasa sendiri. Aku bukan pembunuh, tapi aku membunuh bersamanya, kami hanya menebas dan memutus.

Satu. Satu pukulan mengantam pipi. Bersama dengan dua tendangan ke arah rusuk. Tubuh mensinyalkan rasa sakit yang langsung diterima otak, tubuh menolak, tidak, aku menolak untuk gentar dan mencabut pasak yang telah tertanam dalam.

Dua. Dua tendangan melesak menusuk tulang, membuatku kehilangan pijakan. Saat itu, aku mengharap seseorang dapat memutuskan pita ini.

Sembilan tahun lalu, ketika aku berusia enam tahun, pundi-pundi uang keluarga terempas angin perubahan. Pundi itu terjatuh dan pecah.

Aku masih merasa baik, tidak disadari keberadaannya di sekolah. Aku tidak ingin ada yang berubah, sekalipun berkatnya jadwal harianku memadat. Pekerjaan sampingan memadat, tidak ada alasan spesifik selain menanamkan investasi.

“Oi, kau baik-baik saja?” dia mengulurkan tangan padaku.

Anggukan sebelum pertanyaan menggema, “Namamu?”

“Kuroko, kau?”

“Akashi”

.

Mata terbuka, gambaran terganti menjadi fisik langit-langit kamar. Napas terengah dengan keringat menjalar turun dari kening. Aku menatap jam dinding sebelum menenangkan diri dan memutuskan untuk mandi.

Air mengguyur tubuh, jatuh menyentuh bumi. Sejak kejadian itu, aku terus memimpikan Sei-kun.
Dia tidak pernah absen dari mimpiku, sungguh tidak pernah. Mungkin sebagai pertanda perihal seberapa besar aku rindu akan eksistensi pria itu.

Nanti, aku akan mengunjunginya. Sambil menyelesaikan novel, rencana menatap wajahnya telah timbul dan dicatat otak.

Ya, aku seorang penulis, Akashi Tetsuya 23 tahun, bernama pena Kuroko Tersuya. Penyandang gelar penulis terbaik 5 tahun terakhir. Aku, pendamping hidup Seijuurou Akashi, mencintainya seumur hidup.

Bus berhenti di depan bangunan rumah sakit, aku turun dan memasuki bangunan itu. Berjalan masuk ke kamar Sei-kun sebelum meletakkan karangan bunga dalam vas kecil pada nakas. Wajahnya terlihat damai, aku berani bertaruh dia memimpikan sesuatu yang indah.

Aku berjanji untuk memutuskan pita itu, kan? Seijuurou?

Aku meremat tangannya sebelum menjelajah alam mimpi dengan harapan terhubung dengannya.

TRA-AA.

Serpihan kayu, gemerisik dedaun, membelai diri dalam apraksia berkepanjangan. Setiap tenaga terkerah, langit akan menekan mental hingga ranah. Tetumbuhan pada tepi jalan merias alam surialis dalam bentangan pita merah yang menjelma hitam.

Kami terhubung, lewat sebuah pita yang ditenun dengan raut pathetik, lewat sebuah belaian afeksi. Kami terhubung, lewat sebuah arketipe yang termaktub dalam hangusnya perkamen tua oleh angkuhnya waktu. Kami terhubung lewat setiap resonasi dari sebuah biola yang ia mainkan.

Berulang kali kuucapkan “bangun” dan “kau sedang bermimpi” guna gugah pria itu dari dunia imajinatifnya yang terkurung dalam teralis besi. Berulang kali aku mengisi amunisi guna bidik dan putuskan pita lama yang terpaut dalam belaian surat.

Namun aku bukanlah dia yang bersifat absolut. Aku hanya ingin ia terablasi dari pita itu dan masuk dalam rangkaian tenun pita kecil bersamaku. Maka akan kulakukan.

Kami akan jatuh bersama. Jatuh dengan cara yang berubah setiap panah bermotifkan histori dan realitas menikam diri. Bagiku, hitam dan putih itu tidak berbeda.

Aku tidak menyebut kata sama, hitam dan putih tidak berbeda. Mereka semua merupakan kolaborasi dari seluruh tipe nada. Mereka membentuk warna yang lain, mampu menetralkan setiap nada. Mereka mampu merubah dan menghilangkan, atau menorehkan sifat mereka pada nada lain.

Panas dan dingin tidak berbeda, mereka juga tidak sama dan tidak berbeda. Mereka menularkan sifat dan menimbulkan ketakutan bila mendominasi.

Maka aku di sini, menatap Seijuurou yang menggesek alat musiknya. Maka aku di sini, berbekal sekuntum magnolia layu pada tangan kiri dan sebuah belati pada tangan kanan, menatap wajah Akashi Seijuurou yang terbaring damai dalam balutan pita hitam dan putih.

Maka aku di sini, menorehkan tinta, menenun, dan membidik. Juga aku di sini, menghancurkan, menebas, dan menggilas. Aku yang selalu sendiri, aku yang selalu sendiri, memang tidak pernah direngkuh siapapun selaih hitam dan putih, pita, dan Seijuurou.

Aku sempat bersisian dengannya, kembali sendiri, dan akan menghubungkan pita kami, menghubungkan hitam dan putih, menghubungkan panas dan dingin, serta menenun merah dan biru. Aku telah mengalami nausea berkepanjangan berkat dunia, aku akan terbebas.

Maka aku tahu, dia menutup pandangku dengan kedua tangannya, dia menelekan dagu pada bahuku. Aku tahu dia menatap Seijuurou yang telah terputus pitanya, menatap Seijuurou dengan marun mengalir dari abdomennya.

“Sei-kun, aku telah menepati janjiku untuk memutus pitamu. Sekarang, kau yang mesti memutus pitaku. Aku mencintaimu.”

Magnolia layu itu basah, ternada marun, bergurat ciptakan motif pada mahkota. Beresonasi dalam benak, ‘Ya, aku akan memutus pitamu bagaimanapun caranya.’

FINIS!

OMAKE!

Novel itu telah kuterbitkan, bersama label bertulis karya terakhir yang tercantum pada kaki novel. Aku tahu, aku tak dapat memutuskan pita ini dengan tanganku sendiri, atau mencampur hitam dan putih dengan tanganku sendiri.

Namun, aku tahu aku tidak perlu melakukannya karena Seijuurou sudah lama memutusnya untukku sehingga aku hanya perlu menunggu pita itu sampai benar-benar terpisah. Pada saat itulah, aku mendengar bunyi klakson dari kereta, bunyi gesekan sumbang sari biola, dan jerit orang-orang pertanda pitaku sudah benar-benar terpisah.

A.D : So, yeah. Ini sama aja kayak Ribbonate Life ch.1, tapi kami tulis dengan sudut pandang Kuroko.

A.A: Makasih udah baca, maaf kalau tulisanku—bagian Tra-AA—aneh. Oh, dan kalau ada yang mau collab sama saya tinggal kirim message di wattpad.. Saya akan aktif tanggal 16 nanti.

Sebenernya, cerita ini dibuat sehari setelah Ribbonate Life dipublish, atas permintaan salah seorang pembaca.

Cut the ribbon for me,

AD/AA

Ribbonate LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang