Sore itu matahari memancarkan sinar lembut alih-alih redup, sementara gumpalan awan merayap pelan seolah ingin memblokir keperkasaan sang surya. Beberapa anak yang sejak tadi bersikukuh melanjutkan permainan futsal yang membosankan -lima lawan lima- akhirnya angkat tangan dan memutuskan untuk pulang dengan langkah gontai. Walaupun saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, rasanya Lintang dan dua cewek yang sejak tadi betah di taman itu enggan untuk angkat kaki dari sana.
Tidak perlu dijelaskan dua kali kalau mereka bertiga sedang dilanda masalah. Regina, gadis super cantik berambut panjang itu kini membiarkan badannya mengalun pasrah di ayunan sebelah Lintang. Belum lagi desah panjang gadis mungil yang kini berada di seberang lapangan, terlihat memunggungi Lintang. Sesekali Lintang melihat pundaknya bergetar dan ia membuat gerakan seperti mengoyak udara. Lintang tahu, mereka berdua satu sekolah dengannya. Satu angkatan lagi. Namun Lintang tak bisa berbuat apapun. Lintang yang biasanya selalu ceria dan ingin menghibur orang lain yang sedang dilanda masalah pun kali ini harus gigit jari. Keadaannya sama seperti mereka -sedang ada masalah.
Lintang sangat terpukul oleh kalimat yang terucap dari laki-laki yang tidak sampai dua jam lalu adalah pacarnya. Gadis itu benar-benar kosong dan membiarkan tubuhnya seperti pendulum rusak di atas ayunan yang catnya mulai memudar. Ini adalah dua kalinya dalam hidup ia merasa begitu hampa, sedih, dan tentu saja marah. Kata-kata yang diucapkan mantan pacarnya benar-benar tidak pantas. Ia sangsi ada orang yang masih bisa tersenyum setelah mendengar kata yang mengandung penghinaan dan narsisme itu. Bahkan sampai sekarang pun Lintang masih ingat rincian kalimatnya, dan sepertinya ia akan terus mengingatnya, bahkan ketika nanti ia sudah memiliki anak dan suami.
"Aku ngerasa kita nggak cocok, Lintang." Kalimat klise ketika seseorang ingin putus dari pacarnya. Bahkan Bama sudah tidak memanggilnya kitten lagi!
"K-Kenapa emangnya? Bisa dijelasin secara spesifik?" Hati Lintang lebur mendengar ucapan Bama barusan. Untung saja, ia aktris yang baik, karena getar-getar dalam setiap katanya cukup sukses ia kamuflasekan dengan deham pelan.
"Ehm... Ya, mungkin level kita... beda."
"Level?" Lintang sudah tahu pembicaraan ini mulai menjurus ke hal yang tidak enak.
"Ya. Level." Bama mendesah bosan, seakan kata itu tidak perlu dijelaskan dua kali. "Omongan kita nggak nyambung. Rumor aku bakal jadi Ketua OSIS sudah beredar sekarang. Bahkan ada yang ingin menjadikan aku kandidat Ketua Lentera Cup untuk tahun depan. Aku merasa kita makin jauh, Lintang"
"Jauh?" Lintang sudah mulai mendengar nada arogansi di suara Bama. Mudah sekali menebak arah pembicaraan ini. "Maksud kamu, aku nggak pantes buat kamu?"
"Kamu nggak mau bikin aku jadi orang jahat kan Lintang?" dia mulai tidak sabar. "Aku nggak mau menyakiti perasaan kamu dengan kata-kata yang jahat."
"Sekarang aja kata-kata kamu udah cukup jahat, Bama!" Lintang mulai tidak bisa menguasai suara . "Kamu seenaknya masuk ke kehidupan aku. Menghancurkan pertahanan aku, dan akhirnya aku jatuh cinta beneran sama kamu. Sekarang kamu seenaknya ninggalin aku? Hanya karena masalah.. aneh. Sepele. Kenapa kita harus berakhir hanya karena masalah kayak gini?"
"Prinsip dan kesetaraan penting banget buat aku, Lintang!" Suara Bama mulai meninggi. "Aku nggak mungkin jalan sama orang yang nggak lebih pintar atau tidak sama pintarnya denganku."
Lintang menganga tidak percaya, sementara otak masih mencerna kalimat implisit menyakitkan yang baru saja Bama lontarkan.
"J-jadi.. maksud lo gue bego?" ada getar hebat yang tidak bisa disembunyikan di suara Lintang. Sekuat tenaga ia menahan tangis. "Maksud lo gue bego, Bam?"
"Udah, Lintang" Sahutnya dengan suara tak lebih dari bisikan. "Jangan buat gue jadi orang yang lebih jahat dari ini. Gue pengen kita pisah baik-baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wish Note - Saat Permintaan Menjadi Mungkin
Teen FictionAwalnya Lintang kira ia menemukan kepingan jiwa yang lebih berharga dari sekedar seorang pacar. Regina dan Vivian. Dua sahabat yang mengisi hari Lintang dengan suntikan energi tak terbatas. Namun ia sadar ada pekat hitam menyumpal hatinya. Gumpal ke...