Prolog

31 1 0
                                    

Ingin kumulai sebuah cerita

Sebagaimana musafir memulai perjalanannya dari utara

Namun, sulitku merangkainya dalam kata

mengabadikan setiap kenangan

dalam sempitnya makna seruas kata

"bagaimana? Bagaimanakah caranya...?

Agar dapat kulukiskan Takdir ini

Dalam tarian pena dan kertas

Tanpa kehilangan kebenarannya?"

tanyaku pada waktu ;

maka, kubiarkan ianya mengalir mengalun

lewat hembusan angin yang tertuju ke langit ke-7

kisah ini kusenandungkan pada Tuhan

dengan segenap doaku

"Terangi jalan mereka dengan kisahku, ya Tuhan...

Abadikan keindahannya dalam naungan kasih-Mu..."

Inilah Kisahku.

Bila ada sebuah tempat yang mampu membuatku merasa berada di surga, sebuah tempat yang selalu hatiku rindukan, tempat yang terlalu indah untuk dinodai kenangan-kenangan buruk yang dibuat oleh takdir untukku: Inilah dia.

Kulalui perjalanan pulang ke tempat ini dengan berbagai lamunan di benakku. Kuingat kembali semua yang telah terjadi di hidupku. Semuanya.

Kelahiranku yang tak pernah diinginkan, Nere dan Gere, perang, tahun-tahunku di istana, tentang Ziyad, dan... yang paling menguras emosiku, tentang Malio. Tentang Ziokhel. Disaat getir seperti ini, kenangan bersamanyalah yang menemaniku. Tak ada satupun yang terlewatkan. Inilah Khair----takdirku, renungku bermuram. Mengenang kembali semua itu, bibirku membentuk seulas senyum pahit.

Lamat-lamat, kurasakan kereta yang kunaiki melambat perlahan. Perjalanan pengasingan ini selayaknya memang memakan waktu yang lama. Berlabuh lewat dermaga di kota Khudakesh, dan kemudian dua kali berpindah kereta. Namun bagiku, waktu seakan kehilangan pegangannya. Seseorang turun dari kemudi kereta. Dia menghampiri jendela kereta bertirai tempatku bernaung. Kakka Zahar.

Kualihkan perhatianku kepada Kakka Zahar, seorang yang selalu tegar mendampingiku. Meski rambut-rambut halus di kepalanya mulai memutih, ia tak pernah terlihat tua di mataku. Bagiku, ia akan selalu menjadi Kakka Zahar yang begitu tegar. Takkan pernah berubah sejak kami pertama bertemu di balik tembok tinggi kastil Charaton. Ketegarannya seperti takkan pernah tergerus usia, yang semakin bertambah seiring berlalunya waktu.

"Frikha, tidakkah anda ingin beristirahat sejenak? Anda belum makan apa-apa dari pagi, zira." Kakka Zahar bertanya dengan khawatir. Aku tersenyum menanggapi perhatiannya.

"Niai, Kakka. Aku hanya ingin pulang. Aku merindukan desaku." Lirihku.

"Jika itu yang Frikha inginkan, Piya, saya tak dapat membantah, meski saya ingin. Saya tidak ingin anda jatuh sakit, zira." Ujarnya tulus. Aku terhenyak dengan kesetiaan dan ketulusannya. Meski telah kusadari sejak lama, terkadang aku terkejut mendapati kenyataan bahwa masih ada seseorang yang bisa ku percaya, setelah semua yang ku alami.

"Mengapa, Kakka? Setelah semua yang terjadi padaku, ku pikir, tidak akan ada lagi yang mau mengenalku. Kau memiliki banyak alasan untuk meninggalkanku. Jelaskanlah, mengapa kau begitu baik padaku?" Ulangku lirih. Kakka Zahar hanya tersenyum, dan menunduk menghormatiku.

A GIRL NAMED MIOWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang