"Keven Prescott," ujar dokter itu selesai membaca riwayat kesehatan pasiennya.
Pria itu kini kembali membenarkan letak kacamatanya yang hampir merosot ke bagian tengah tulang hidungnya. Rambutnya telah memutih namun masih tertata rapi.
Keven masih diam. Ia tidak menjawab tanpa melepaskan titik fokus matanya ke arah meja dokter di depan dengan pandangan kosong. Ia sama sekali tidak memandang dokter yang tengah memperhatikannya itu. Jika seandainya kemarin tidak ada yang memaksanya pergi ke tempat ini, sudah pasti hari ini ia tidak mungkin berada di tempat yang tidak pernah ia sukai sejak kecil itu.
"Berhentilah mengkonsumsi alkohol jika kau ingin sakit kepalamu setidaknya berkurang," dokter itu berbicara dengan tenang. Ia sudah sangat mengenal pasiennya kali ini. Seorang anak laki-laki yang sudah beranjak menjadi seorang pria dengan tubuh tinggi semampai yang tidak pernah bicara banyak bahkan cenderung pendiam, dokter itu juga sudah sangat memaklumi tentang kepribadian tertutup yang tidak pernah hilang dari pasiennya ini.
Kali ini Keven Prescott akhirnya mengangkat wajahnya sedikit untuk menatap pria setengah baya yang sudah menjadi dokternya sejak kecil. "Kau pernah bilang kalau penyakit ini tak akan pernah sembuh pada diriku, jadi percuma saja aku meminum obat dan menjauhi segala pantangan itu. Aku tetap tidak akan sembuh." Protesnya menyuarakan kekesalan yang sudah cukup lama ia pendam. Bertahun-tahun sudah ia menuruti segala pantangan yang selalu dokter berikan kepadanya namun ia tidak pernah terbebas dari penyakitnya itu. Ia sudah mulai lelah saat ini.
Dokter itu tersenyum tipis. "Bukan seperti itu, Prescott, well, walaupun kenyataannya nyaris seperti itu, tapi setidaknya kamu tetap harus memperkecil kemungkinan penyakit itu kambuh." Ia menumpukan kedua sikunya di meja sambil terus memandangi pria muda itu. "Walaupun terbebas dari penyakit ini sangat kecil kemungkinannya, kau perlu menjaga gaya hidupmu, terutama dari alkohol." lanjutnya kemudian menulis sesuatu di atas sebuah kertas.
"Kau merokok, Keven?"
Laki-laki berambut kecoklatan itu kemudian menggeleng pelan. "Aku bahkan belum pernah mencobanya" Ia tersenyum samar, "Benda itu membunuh." lanjutnya seraya mengangkat wajah. "Benar begitu, bukan?"
"Good boy." Dokter itu kemudian mengangguk pelan sependapat dengan pernyataan pasien kesayangannya itu. "Jenis sakit kepalamu adalah jenis sakit kepala cluster yang hanya menyerang dengan perbandingan satu banding seribu orang, sangat jarang yang menderita sakit kepala jenis ini dan juga lebih sering menyerang pri—"
Sudah ribuan kali dokternya itu menerangkannya tentang sakit kepala cluster-nya itu. Keven terlihat frustasi sebelum akhirnya ia memotong kalimat itu dengan sopan. "Tolong jangan katakan lagi. Aku sudah tahu, doctor Dreschler."
***
"Aku akan ke Korea Selatan akhir minggu ini," Keven meneguk habis segelas air putih yang ia genggam di tangan kirinya. "Ke tempat terkutuk itu," desisnya pelan.
David meliriknya dari sofa kemudian tertawa ringan mendengar Keven yang berkeluh padanya. "Kau orang Korea, Kev," godanya mengingatkan, hal itu justru membuat temannya itu melempar satu buah bantal sofa tepat ke arahnya yang kemudian segera ditangkapnya dengan cekatan.
"Memangnya kau tidak, kau pun juga, Thrussell," Keven mendengus kesal pada David. David Thrussell. Yang sudah menjadi sahabatnya selama ia tinggal di Syracuse.
Ia sudah sering mengingatkan David untuk tidak menggodanya mengenai hal itu lagi.
Keven menatap David dengan pandangan cukup kesal. "Kau tahu kan, David." Keven memastikan David apakah laki-laki kurus bertubuh lumayan tinggi itu masih mengingat apa hal yang paling dibencinya selama ini.
YOU ARE READING
AVERSION OF MAN
FanfictionKeven Prescott, seorang pria bertubuh tinggi semampai dengan mata birunya sangat membenci Korea. Walaupun pada kenyataannya ia tidak dapat memungkiri bahwa darah Korea mengalir dalam dirinya. Dan sampai saat ini Shim Changmin masih benci musim gugur...