Bastian : Dua Belas

43.3K 4.4K 266
                                    

Tolong tandai typo dan kalimat rancu kalau ketemu yah. Makasih.

Masih dengan aura pembunuhan yang menyelimuti kami di ruang makan karena tindakan kriminal Jessi yang nyaris saja memutus jariku dengan dua gigi kelincinya. Aku makan dalam diam. Enggan memperhatikan dia yang senyum-senyum menjengkelkan.

Dasar kurang ajar. Kalau begitu tadi lebih baik aku cium saja dia! Lalu kugigit lidahnya sampai putus.

Sedang memikirkan cara untuk membalas tindakan Jessi tadi. Sebuah usapan di lutut, menyentakku untuk mendongak, dan melihat si tersangka dengan tatapan nyalang.

Tapi si tersangka yang sudah dengan lancangnya mengusap lututku itu malah tersenyum polos sambil melemparkan kerlingan nakalnya. Sialan!

Tidak tahukah dia jika perbuatannya itu menghidupkan Bastian Junior yang tadinya sedang terlelap tidur setelah takut dirajam?! Lagian ini juga! Belum disentuh! Sudah menggeliat bangun.

Aku langsung mendorong kaki sialannya itu dan berharap kursi yang ia dudukki guling ke belakang. Tapi sayangnya tidak. Aaah ... terlewat sudah tontonan seru.

"Lo jangan macem-macem, ya?!" ucapku dengan nada mengancam.

"Ck! Apaan, sih? Harusnya gue yang marah, udah lo kerjain kayak tadi. Ini malah lo yang baperan!"

"Diem!" ketusku dan dia malah terkekeh.

Aku menggeleng kesal, membersihkan bibir dengan tisu, lalu beranjak pergi. Bisa gila lama-lama berurusan dengan Jessi. "Mau nidurin titit lo, ya?! Kasian tuh, nongol gitu."

Aku kembali melemparkan tatapan nyalangku. Demi Tuhan! Setan apa yang bersemayam di tubuh Jessi saat ini? "Ngomong sembarangan lagi. Gue perkosa tau rasa, lo!"

"Oke! Lima juta!"

"Astagaaa!! Kenapa iblis kayak lo dibiarin umur panjang, Tuhaaan??!"

Aku langsung melaju menuju kamar, dan Jessi malah terbahak seperti orang gila.

"Lo lupa kalau lo yang biarin gue tetep hidup?!"

Teriakkan Jessi terdengar dan aku makin mengumpat kesal. Benar. Harusnya kubiarkan saja dia mati di rumahnya waktu itu.

Dasar Jessi setan.

*

Setelah menenangkan diri, atau lebih tepatnya menenangkan si kecil di kamar mandi yang berada di dalam kamarku. Aku kembali keluar dan tak menemukan Jessi di manapun.

Tidak peduli dia pergi kemana. Aku keluar hanya untuk mengambil segelas air putih untuk kuletakan di atas nakas sebelah ranjang, karena aku sering kehausan saat tengah malam. Malas harus berjalan jauh ke dapur, jadi aku selalu menyiapkannya sebelum tidur.

Baru membuka pintu kamar, aku baru sadar jika pintu yang menuju balkon sedikit terbuka. Setelah meletakkan segelas air putih di atas nakas. Aku berjalan perlahan menuju pintu tersebut dan mengintip sosok wanita yang kupikir pergi keluar.

Entah mengapa aku tak ingin mendekatinya yang terlihat sedang meresapi kesunyian malam tanpa sebuah ekspresi apapun. Tidak seperti Jessi yang biasanya. Pancaran mata itu, seolah tiada kehidupan sama sekali.

Hal ini kembali mengingatkanku pada kejadian saat kami berada di pelataran parkir minimarket beberapa saat yang lalu. Seorang pria yang hendak bersujud di hadapan Jessi, dan memicu kemarahan wanita itu.

Ya ... walau marah merupakan hal biasa bagi macan betina itu. Tapi, tatapan benci dan kecewa tidak pernah aku lihat dari sorot matanya. Tapi dengan lelaki muda yang memanggilnya kakak tadi, dia melemparkan tatapan itu.

CrazierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang