Gadis itu meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri seolah hanya tubuhnya yang bisa ia percayai, seolah hanya dirinya yang mampu bangkit sendiri, hanya dirinya sendiri. Ia ketakutan tapi tak setetespun airmata yang ia tumpahkan, bukan karena ia hanya takut saja, tapi gadis itu ketakutan didalam kesedihannya, dia terlalu tinggi egonya untuk menampilkan kerapuhannya sehingga setetes air matapun tak sudi ia turunkan.
"Siapa kau?" suara itu lembut dan tenang tapi mampu membuat si gadis berego itu mengalihkan pandangan, mencari sosok yang bertanya tadi tapi ia baru sadar tempat ini gelap sekali, ia bahkan tak mampu melihat tangannya atau seluruh tubuhnya.
"Siapa kau?" suara itu terdengar lagi kali ini lebih tegas. Gadis itu berdiri dengan percaya diri, kali ini tak ada rasa takut
.
"Aku Zeta Airinda, siapa kau berani menanyaiku seperti itu? Aku tidak takut pada kau yang bahkan tidak terlihat" jawab gadis bernama Zeta itu, dari nadanya berbicara sudah terlihat jelas bahwa harga diri dan egonya lebih tinggi, ia tidak takut pada siapapun, ia tidak ingin diperintah siapapun, dan tentu saja ia tidak ingin ada Yang berani padanya."Siapa kau?" Zeta menggeram kesal. Selama hidupnya tidak ada yang seberani itu menanyainya, ia lebih banyak menemui orang yang pandangannya akan menunduk jika berhadapan dengan Zeta
"Aku Zeta! Dasar tuli!!"
"Tidak, Kau Siapa?"
"Apa maumu?! Tampakkan wajahmu yang pengecut itu!?"
"Siapa kau?"
"Dasar bre..."
"Zeta bukan kau" Zeta terdiam, kata - katanya tak jadi ia lanjutkan. 3 kata itu mampu membuat tubuhnya beku, ia baru menyadari satu hal, ia baru menyadari mengapa dirinya sedaritadi ketakutan sebelum ada yang mulai bertanya padanya.
"aku yakin aku adalah Zeta" jawab Zeta lirih, nadanya mulai bercampur dengan nada orang ketakutan.
"Bukan! Siapa kau?" Suara itu benar, ia bahkan tak tahu dengan keaslian dirinya sendiri sekarang, ia ragu bahwa ia bukanlah Zeta karena itu sedaritadi ia hanya meringkuk memeluk dirinya sendiri.
"Siapa Kau?" Zeta berjongkok kemudian menutup kedua kupingnya dengan keras, ia tak ingin mendengar suara itu karena ia mulai sadar bahwa itu adalah suara hatinya sendiri. Ia tak tahu siapa dirinya sekarang, benarkah Zeta atau hanya khayalan yang ia buat untuk menguatkan dirinya.
"Siapa kau?"
"Siapa kau?"
"Siapa kau?"
Suara itu mulai menggorogoti pikirannya, berulang - ulang. meskipun Zeta menutup kupingnya dengan keras suara itu bahkan tak terdegar mengecil malah semakin lama suara itu makin tegas ditelinganya, Zeta menggeram frustasi, ia yakin akan menjadi gila hanya karena tak bisa menjawab suara hatinya sendiri.m semakin lama suara bertanya itu semakin besar, berlang - ulang dengan pertanyaan yang sama membuat Zeta tidak tahan dan takut setengah mati.
"ARRGGHH!!" Teriak Zeta, ia membuka matanya perlahan, cahaya mulai ia lihat, tidak ada kegelapan lagi, keringat dingin ia rasakan di dahinya. Ia baru sadar akan sesuatu.
"Sial! Hanya mimpi buruk" umpat Zeta pelan. Ia kemudian mengusap peluh didahinya dengan kasar, mimpi itu tak ingin ia ingat lagi. Baginya itu mimpi yang sangat buruk diantara mimpi buruknya yang lain
"Non sudah bangun, saya baru saja ingin membangunkan non tapi non tiba - tiba berteriak, pasti mimpi buruk" Zeta berhenti mengusap dahinya dan menoleh kesumber suara. Gadis itu menghela nafas sebentar.
"Tante, udah saya bilangin panggil aja Zeta" kata Zeta tanpa memperdulikan pernyataan terakhir yang ia dengar tadi tentang mimpi buruknya.
"tapi non saya kan pembantu dirumah ini" Zeta kemudian mendengus, perempuan yang ada disampingnya kasurnya ini bahkan sudah ia anggap seperti ibu sendiri, bagaimana mungkin ia memperlakukannya seperti pembantu yah walaupun memang itu pekerjaannya tapi setidaknya Zeta ingin perempuan yang ia anggap ibu itu memanggil namanya saja tanpa embel - embel non.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemeluk Luka
JugendliteraturKarena saya percaya semua orang memiliki lukanya sendiri maka kubuat cerita ini. Kisah yang penuh dengan Luka, yang mungkin Lebih Meluka dari kalian. Enjoy!