Warna yang Pudar

16 3 0
                                    

Panti sudah hangus terbakar.

Aku membeku, mataku berair.

Keadaan yang sama berlaku untuk Ruki dan Arato. Air mata sudah tumpah ruah.

"Sora... Ruki.... Arato.... kalian hidup.... larilah.... lari...." terlihat Yuuki berjalan tertatih kearahku.

Aku sigap berlari kearah Yuuki namun.

#Dorr

Peluru timah menembus dada kiri Yuuki,rambut panjangnya terkotori oleh darah.

"Masih ada yang hidup ternyata" Suara seorang Rent yang sangat kukenal.

Ia memainkan pistol di tangannya seakan itu hanyalah mainan anak kecil.

"KENAPA! KENAPA KAU LAKUKAN ITU!" Aku berseru histeris.

"Minggir, Sora" suara berat Arato membuatku diam.

#Bhuakkk

Arato memukul Rent itu dengan kekuatan penuh.

"Sial" Pistol diarahkan pada Arato, dengan tenang Ruki berjalan ke hadapan Arato.

Mengahalangi jalur peluru.

"Ayo tembaklah" ucapnya tajam.

Rent sudah menarik pelatuk namun sebuah tangan menghentikannya.

"Kaichou? (Ketua?)" Pistol diturunkan.

Tampak seorang laki laki muda berbadan tegap menatapku tinggi.

"Bawa mereka"

Orang orang berbadan kekar membawaku,Arato dan Ruki menuju sebuah mobil yang mirip mobil tahanan.

Kami meronta ronta, berteriak histeris.

"LEPASKAN! LEPASKAN!" Arato meronta anarkis.

Mobil yang membawa kami berjalan.

Suasana mendadak hening. Arato tak lagi berteriak.

Kami duduk berhadapan, tidak ada yang bersuara. Hanya ada deru suara ban yang menggesek aspal.

Mataku menerawang jauh, tidak ada waktu untuk menaikkan ego sekarang.

Semuanya sudah di renggut.

Tidak ada yang tersisa, bahkan mungkin masa depanku juga akan diambil paksa.

Aku tak akan terkejut jika ternyata kami di giring menuju Iron Maiden untuk di siksa.

Ah.. pikiran negatif di saat yang negatif pula.

"Lebih baik kita istirahat, tidak ada yang tau apa yang akan terjadi pada kita lebih baik tetap berpikir lurus" ucap Ruki dewasa.

Laki laki blonde itu memilih untuk berbaring di alas yang kotor, tipikal orang sederhana.

Arato masih menatap kosong kedepan.

Netra coklatnya yang selalu menatap tajam ke segala arah kini hanya sebuah tatapan tanpa isi. Hampa.

Tidak jauh berbeda denganku yang hanya bersandar frustasi. Aku benci ketika sadar betapa lemahnya aku.

Yang bisa di lakukan hanyalah.

Menunggu takdir berbicara.

***
Mataku terbuka tatkala mobil berhenti secara tiba tiba. Membuat kepalaku yang malang terbentur alas besi.

Pintu di buka, sinar matahari menelisik ke dalam kedua bola mataku. Silau.

"Bangun! cepat!" bagai dejavu kami kembali di bawa oleh orang orang berbadan kekar.

Aku melirik Arato yang tampak tergganggu, tapi ia berhasil mengontrol emosinya.

Di sisi lain Ruki tampak menguap, ia sangat tenang.

Tiba tiba sebuah kain menutup mulut dan hidungku, tercium bau obat bius yang sangat kentara.

Perlahan lahan kesadaranku mulai terkikis. hingga hilang sepenuhnya.

***
Aku terbangun karena sebuah tepukan di pipiku.

"Sora! Sora!" Suara Ruki dan Arato sayup sayup terdengar.

Kubuka mataku perlahan.

Terdengar helaan nafas lega dari Ruki dan Arato.

"Dimana kita?" Aku bertanya parau.

Hanya di jawab gelengan oleh Ruki. Aku mencoba menggerakan kakiku namun.

Rantai?

Ahh aku dijadikan budak ya? Rantai yang mengikat kakiku adalah bukti yang cukup untuk melihat posisiku sekarang.

Di Jepang perbudakan sudah dilarang namun masih saja ada orang orang rakus yang mengenyam kenikmatan diatas ranjang pesakitan. Menjijikan.

#Kriettt

Pintu terbuka.

Lagi lagi orang berbadan kekar membawa kami ke sebuah tempat.

Diterangi lampu remang remang, disini banyak anak di bawah umur yang di rantai seperti kami dengan keadaan jauh lebih menyedihkan.

Mereka lusuh,terluka dan nampak sakit. Dipaksa bekerja menempa besi.

Aku melihat ada yang tengah di cambuk karena mungkin melakukan kesalahan, ada pula yang wajahnya rusak karena di siram air keras.

Sial. Kami dikirim kedalam neraka.

Entah bagaimana hidupku berkelanjutan.

Setelah ini mungkin kami tidak akan lagi mengenal.

Arti dari kebahagiaan.

.
.
.

To be Continued

From Sora To SoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang