Dalam Pelukan Duri

22 3 7
                                    

Hari demi hari terlewati.

Tak terasa aku sudah 2 bulan di dalam penjara tak kasat mata.

Penjara yang lebih kejam daripada hukuman para pecandu.

Kami hanyalah korban yang harus mengotori tangan untuk para tersangka.

Siksaan bagaikan kewajiban kami . Roti basi? Makanan pokok kami dengan air kotor sebagai pelepas dahaga di sokong dengan bambu sebagai kudapan.

Setiap minggu paling tidak ada 2-3 orang meninggal.

Jalankan melihat keadaan orang lain, Melihat diriku dalam pantulan air pun aku tak mampu.

Lebam,luka sayat, bahkan borok sudah banyak tersebar di tubuhku. Aku sudah kebal dengan semua ini.

Rasanya mati pun aku tak pantas. Mereka berhasil membuat manusia besi tanpa hati.

Katakan aku berlebihan, tapi kenyataan membuat cara berpikirku jadi lebih melankolis.

Tepatnya setelah aku dikeluarkan dari zona nyamanku.

Aku semakin membenci kehidupan.

Murni tanpa keinginan balas dendam.

Ketika garis kasar takdir memporak porandakan hidupku menjadi tidak karuan, aku hanya sebuah mainan bernyawa.

Di permainkan oleh lika liku skenario kehidupan yang pemilih.

Seketika aku menghancurkan semua asas yang kupegang sejak awal. Aku bahkan sudah tak memiliki keinginan untuk hidup.

Menolong orang lain? Bahkan menghirup oksigen sudah membuatku tercekat. Menolong diri sendiri saja ku tak mampu.

Rasa egois dan munafik yang sudah terpupuk sejak dulu semakin hari semakin bertambah. Mengubahnya dari cara berpikir menjadi watak.

Semua berkumpul menjadi suatu kebencian yang tampak mendarah daging, terserap pada engsel engsel sendi kehidupanku dan berputar putar seperti merry-go-round di dalam arteri yang mengalir sepanjang hidupku.

Sembari menempa besi aku tertawa remeh.

"Sora-chan, pergilah ke depan dan istirahatlah" ucap Ruki menghampiriku.

Ia masih perhatian seperti biasanya meski kini luka bakar sudah menutupi kulit wajah sebelah kanannya.

Aku menuruti Ruki dan berjalan keluar.

Diluar aku menatap hamparan rumput hijau di luar pagar kawat pembatas dengan dunia luar, asap pekat tercium sesak.

Aku duduk menatapi pemandangan di luar pagar, memperhatikan sebuah pohon rindang yang di kelilingi kupu kupu.

Ah... kebebasan.

Masih menatap keluar tiba tiba sebuah pesawat kertas jatuh di hadapanku.

Kuambil benda itu, kertas notes kuning milik kalangan berada tampak menjadi bahan pembuatnya.

Aku membuka kertas itu perlahan.

Terlihat tulisan tangan rapi khas bangsawan. Aku mengernyitkan dahi.

Hai, Namaku Hoshiiro Sora.

Diambil dari kata Hoshi yang berarti bintang, Shiro yang berarti putih dan Sora yang berarti langit. Intinya Langit yang dipenuhi bintang putih.

Ayahku selalu melarangku untuk masuk melewati pagar jadi aku penasaran.

Apakah disana ada sesuatu yang menyenangkan? Aku selalu melihat asap dari sana.

Aku tak pernah keluar dari sekitar rumah karena ketakutan ayahku.

Puuuu padahal aku sangat penasaran dengan segala hal!.

Ah rumahku dekat sini kok, jika kau melihat ke selatan terus setelah bukit kecil penuh rumput disanalah aku tinggal.

Tertanda, Sora

Aku terdiam cukup lama. Menatap hamparan rumput kembali.

Disana ada orang yang penasaran akan kami.

Namanya Sora, sama seperti namaku. Aku bangkit mengambil pena dan kertas dari kandang yang kusebut kamar itu.

Hai, Namaku juga Sora

Aku adalah langit itulah yang selalu kupikirkan sejak kecil.

Tidak ada yang menarik disini, hanya ada orang orang yang merasa ingin mati saja.

Bersyukurlah, tidak semua hal baik untuk diketahui.

Dibalik pagar,Sora

Aku melipat kertasku menjadi pesawat kertas, aku terdiam menunggu angin berhembus.

Baru kuterbangkan pesawat kertas ini.

Entah sejak kapan aku mulai menerbangkan harapan bersamanya.

Mencoba menerbangkan rasa sakit yang memelukku erat.

.
.
.
.

To be Continued

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 19, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

From Sora To SoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang