Bagai tersambar petir, aku langsung terduduk begitu setengah sadar dari tidur. Kudapati tubuhku terduduk di lantai lobi kampus gedung XI. Di sekelilingku orang berlarian entah kenapa.
"TSUNAMI! TSUNAMI! CEPAT NAIK KE ATAS!" teriak seseorang.
Aku segera beranjak dan berlari ke arah pintu keluar. Dan apesnya kudapati kertas besar bertuliskan PINTU RUSAK. Tanpa susah payah melihat menembus pintu kaca yang bergetar, air di luar sudah setinggi leherku. Aku mundur beberapa langkah antara bingung dan ngeri.
BLAM!
Sekonyong-konyong pintu terbuka dan air masuk memukul wajahku hingga aku terjatuh. Tergopoh aku memberangkang menjauhi semburan air setinggi tumitku. Ketika aku berdiri dan mencari anak tangga terdekat, dengan cepat air terasa membasahi pahaku.
"CEPAT NAIK KE ATAS!" bentak seorang Pak Satpam yang wajahnya amat kukenal di anak tangga. Baru kusadari hanya tinggal kami berdua yang ada di sini. Ia meraih tangan hingga kakiku tidak merasa berat melangkah lagi. Pak Satpam mengencangkan pelampungnya dan berenang ke bawah hingga tak terlihat oleh mataku.
DUARRR!
Terjadi ledakan yang kuduga bersumber dari listrik, karena tiba-tiba lampu padam. Biasanya kalau mendung lampu di dalam gedung akan dinyalakan. Astaga ... bagaimana dengan nasib Pak Satpam?!
Antara kaget dan terguncang, aku menoleh ke arah anak-anak yang sedang ketakutan di lantai dua. Beberapa masih bisa tertawa melihat genangan air di bawah. Tega sekali mereka?
"NAIK KE LANTAI 3! KITA NGGAK TAU AIRNYA MASIH ADA SENGATAN LISTRIKNYA ATAU NGGAK!" kata seseorang yang rasanya tepat berteriak di kupingku. Rupanya sedari tadi ia mengawasi air di lantai satu yang sedikit lagi membanjiri lantai 2.
Spontan aku mencengkeram lengannya.
"Apa-apaan?" tanyanya kaget.
"Naik. Atau nyawamu nggak tertolong seperti Pak Satpam!" jawabku memerintah.
"Ini juga mau naik," jawabnya sambil melepas cengkeramanku dengan mudahnya dan berlari mendahului.
Ia mirip Alex Pettyfer, dengan versi rambut hitam. Astaga, sempat-sempatnya aku menilai cowok di saat seperti ini?!
Akhirnya aku tiba di lantai 4, dengan ketinggian air yang sementara berhenti menggila. Sekarang tingginya mencapai atap lantai 3. Salah satu jendela kaca lantai 4 sudah dijebol dan dijadikan pintu untuk menaiki perahu kecil. Tapi ... apakah cukup untuk kami semua? Jumlah yang tersisa di sini lebih dari 40 orang.
"Apa cukup?" tanyaku pada orang-orang.
Hanya ada satu orang yang menjawab di tengah-tengah manusia yang ketakutan," ada 6 perahu, harusnya cukup. Tapi entah kenapa di luar malah mereka ribut sendiri," jawab si Alex Pettyfer berambut hitam (selanjutnya disingkat APH).
Pandangan mataku menembus keluar jendela kaca. Gedung-gedung kampus tercintaku ... terendam air. Seperti biskuit yang muncul di atas susu coklat. Kupegang dadaku untuk meredakan jantungku yang dari tadi berdegup kencang. Aku harus siap mati.
Tunggu, kenapa aku memakai kaos? Kulihat bajuku dari tumit hingga ujung rambut melalui pantulan kaca. Yang salah hanya kaos. Padahal aku tidak pernah menggunakan kaos sebelumnya. Tapi ada satu lagi yang janggal. Sejak kapan aku mengenakan kalung?
PARIWISATA KELAS BROADCASTING. ELNUT. 16 November 1995 . TAHUN AJARAN 2014-2015.
Begitu isi tulisan pada kartu berlaminating di ujung kalung.
"Ada kelas di luar? Memang kapan pengumumannya? Ah, kok aku jadi linglung begini?"
PRANGGGG! Seseorang memukul kaca yang sedari tadi kuperhatikan menggunakan tongkat bisbol.
"Allahuakbar!" ucapku spontan sambil lompat ke belakang.
"Allahuakbar! Merdeka!" kata si pemecah kaca mencemoohku. Tapi aku justru memperhatikan ke luar jendela. Di antara genangan air mengerikan yang menyelimuti pemandangan, ada pusara putih menyilaukan persis di bawah lubang jendela.
"Ayo kita turun di sini!" seru si pemecah kaca. "Iya, kamu perempuan! Kamu duluan!"
Pemecah kaca memegang tanganku, orang-orang di belakang juga beramai-ramai mendorongku ke depan. Dengan cepat kakiku sudah terpaksa berjalan ke mulut jendela. "Tolong! Tolooong!" teriakku sambil memegangi gerigi kaca yang masih menempel pada tempatnya.
"Jangan ganggu dia!" kata si suara APH. Dengan cepat kulihat APH berada di sisi kananku.
"TIGA ... DUA ... SATU ...!!!" orang-orang bersorak sambil menendang bokong APH ke bawah. APH terpental ke bawah sambil berteriak sebelum akhirnya larut di pusara putih di bawah.
"Jangaaaaan! Berengs*k kalian!" teriakku histeris.
"Sekarang gantian kamu! TIGA ... DUA ... SATU!"
"Kita tendang apanya?" tanya seseorang bingung dan membuat yang lainnya tertawa.
Kaca di tangan kiriku pecah, aku hampir terpeleset ke bawah dan berbalik ke orang-orang di belakangku. Sekenanya aku berusaha memegangi barang-barang mereka. Aku berhasil memegang tongkat bisbol yang masih dipegang si pemecah kaca. Bodohnya aku, dia langsung melepas pegangannya dari tongkat.
Terasa tendangan kuat di kedua tulang panggulku. Aku terpental kuat ke bawah. Tawa lebar para iblis itu masih mengikuti mataku hingga mataku terpejam.
****