Tau-tau saja aku sudah terperosok menuruni perbukitan berumput lebat. Dengan asal kuraih sembarang rumput agar tubuhku tidak terus terperosok ke bawah. Bagaimana jika di bawah ada jurang?
Pipi dan rambutku terkena tanah, daun, dahan, dan rerumputan kering. Tapi aku tidak peduli. Yang penting aku harus secepat mungkin menemukan pegangan untuk menahan badanku agar tidak terus terperosok.
Tiba-tiba badanku menyentuh sesuatu yang empuk dan mempunyai tangan. Aku tengkurap dengan menindih badan seseorang yang tangannya melingkar di kedua pundakku. Kampret, siapa ini?
"Hai?" sapa seseorang di bawahku.
Kuangkat kepala. Aku sedang menindih dada rata berkaus abu-abu dan berjaket coklat muda.
"Alex Pettyfer?" sambutku bodoh.
"Apa?" tanyanya bingung. "Rambutmu ini kenapa banyak daun kering sama rantingnya sih? Abis guling-guling dari ketinggian berapa?" tanyanya lagi tanpa menunggu sambil mengambil benda-benda dari rambutku.
Gerakan tangannya seperti menyihirku. Ini baru pertama kalinya rambutku dipegang teman laki-laki. Seandainya waktu bisa diulur, aku akan mencegah tangannya menjauh dari rambutku.
Sesuatu yang keras menindih punggungku. Tas dan sebuah tongkat bisbol menyusulku. Aku tersadar dan segera beranjak dengan malu. Tapi dia terlihat sama sekali tidak keberatan, malah tersenyum senang.
"Namaku Ginger (baca Jingger)," katanya tanpa ditanya.
"Njing ... siapa?" tanyaku sambil memakai tas serta memegangi tongkat bisbol yang tadi kuambil dari si pemecah kaca.
"Ginger," jawabnya sambil tersenyum. Astaga, benar-benar mirip Alex Pettyfer. "Kamu Elnut?"
"Tau dari mana?" tanyaku senang. Astaga, apakah selama ini orang ini memperhatikanku di kampus?
"Dari kartu tanda pengenalmu. Aku menyimpan kartu itu di tas, agak bahaya dengan keadaan seperti ini," katanya sambil memandangi kartu ID-ku yang masih tergantung di leher.
"Oh ... eh, bahaya?" segera kuambil ID-ku dan menaruhnya di tas. Sekilas aku melihat tulisan yang sebelumnya tidak kulihat, '0 POIN'.
"Iya, orang-orang bejat di sekitar. Kamu inget kita didorong dari lantai 4?"
"Inget, tapi kenapa kita jadi ada di sini? Apa kita sudah mati? Kenapa di sini kering? Bukannya tadi di kampus banjir?" tanyaku sambil melihat ke sekeliling.
"Itulah. Aku juga bingung. Ayo kita ke pinggir sungai. Aku lihat beberapa orang ada di sana," kata Ginger.
Baru lima langkah berjalan, tiga pemuda menghadang kami. Dua diantaranya kukenali sebagai orang-orang yang mendorongku dari lantai 4 tadi.
"Gunakan tongkat bisbolmu," kata Ginger sambil merogoh saku belakangnya.
"Hah? Apa maksudnya?" selisih dua detik dari kata terakhirku, seseorang dengan liar mengarahkan pisaunya ke wajahku.
Kutangkis tangannya menggunakan tongkat bisbol, pisaunya terlempar sekitar 5 meter dari tempat kami berdiri.
"Eh buluk, ati-ati ya! Emang kamu mau masuk neraka gara-gara ngerusak wajah orang?" mereka tertawa mendengar ocehanku.
"PAKE TONGKATMU, NUT!" Ginger berteriak sebelum menghajar dua pemuda menggunakan belati kecilnya. Satu pemuda mundur beberapa langkah untuk mengambil pisaunya.
KENA!
Ia kalah cepat dariku. Bahunya kupukul sebelum sempat mengambil pisaunya.
Ia mengaduh sambil menyumpahiku dengan kata-kata kasarnya.