#2: Kue Jahe

93 24 17
                                    

"Nih, pesenan lo."

Aku yang tengah melamun segera tersadar ketika sebuah tangan menaruh sekaleng susu Bear Brand dan sebungkus kue jahe kesukaanku. Mataku mengerjap pelan, memandang keadaan kantin yang tengah ramai sesaat, lalu beralih menatap seseorang yang tadi menaruh kue jahe beserta susu pesananku diatas meja dengan tatapan kosong.

"Makasih, Vin," ucapku pelan sebelum membuka bungkusan kue jahe dan melahapnya segigit.

Orang itu, Alvin, tersenyum samar, namun aku memilih tak menanggapi banyak.

"Btw, abis ini lo kelas?" tanyaku di sela kunyahan kue jahe yang kumakan.

Alvin mengangguk. "Hm. Gue ada ulangan Geografi jam kelima nanti."

"Kok nggak belajar?" tanyaku bingung. Kemudian melanjutkan, "Nanti rangking lo bisa turun. Terus kalo Tante Dian tau, lo bisa kena marah. Kan nggak lucu."

Iya. Pasalnya, Tante Dian, ibunya Alvin ini memang terkenal perfeksionis di kalangan ibu-ibu kompleks. Ia tidak ingin anaknya mendapat cap jelek di depan orang banyak. Termasuk dalam hal akademis. Walau Alvin memang bagus di non akademis karena dia atlit bulu tangkis Garuda Jaya, akan tetapi jika di bidang akademis cowok itu termasuk yang biasa-biasa saja.

"Ck. Apaan sih anjir," umpat Alvin kesal. Kulihat cowok itu mencebikkan bibir, "Lagian udah biasa juga kok dimarahin nyokap. Sans ae lah. Napa lo yang kayak ketakutan gitu?"

Aku mendelik tak setuju.

"Ih, masalahnya lo nggak tau! Gue bosen denger laporan Mama tentang lo. Terus ujung-ujungnya juga gue yang suruh arahin lo supaya lebih rajin belajar," omelku hampir mirip seperti ibu yang tengah memarahi anaknya.

"Stop, May. Elo lama-lama jadi kayak nyokap tau nggak."

Baru saja ingin membalas perkataan Alvin, penglihatanku menangkap sesosok cowok berambut agak kecoklatan dan sedikit berantakan berjalan mendekati meja kami. Di tangan kanannya terdapat sebuah kantong plastik hitam yang entah isinya apa.

"Berantem lagi?" tebak cowok berambut kecoklatan itu seraya menarik kursi di sebelah Alvin yang duduk berseberangan denganku dan mendudukinya.

"Ini nih, Kev. Si Maya. Bawel mulu daritadi. Awalnya tadi pas kesini dia diem gitu. Gue udah seneng tuh. Eh ternyata virus bawelnya keluar lagi," ucap Alvin seakan mengadu pada Kevin, teman sekelasnya yang juga merupakan tetangga satu kompleksku.

Buru-buru aku menampik, "Dia yang mulai, Kev. Udah sering dimarahin sama Tante Dian nggak ada tobatnya sama sekali. Gue ajakin buat tobat kagak mau."

Kevin yang baru saja datang terlihat pusing mendengar celotehan kami yang saling melempar kesalahan. Ia pun menaruh kantung plastik yang dibawanya diatas meja, kemudian menatapku dan Alvin lamat-lamat.

"Udah-udah. Masalah gitu aja kok dipermasalahin. Bentar lagi bel, mending kalian buruan. Nanti telat masuk kelas baru tau rasa."

Alvin tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Cowok itu memeletkan lidahnya padaku, kali ini menang telak. Dan aku hanya menanggapinya dengan dengusan.

"Oh ya, May. Ini buat lo," kata Kevin sambil mendorong plastik hitam diatas meja ke arahku.

Penasaran, aku pun membuka plastik tersebut. Betapa kagetnya aku ketika tahu kalau isi kantong plastik itu adalah sepuluh bungkus kue jahe kantin kesukaanku. Mataku langsung berbinar senang melihatnya.

"Buset, lo borong semua, Kev?" tanya Alvin yang ikut-ikutan mengintip isi plastik itu.

"Iya. Emang kenapa?" jawabnya enteng tanpa beban.

"Ya nggak kenapa-napa sih. Cuma takutnya nanti si Maya jadi mabok kue jahe. Kan nggak lucu."

Sontak saja aku meraih rambut Alvin dan menjambaknya pelan.

"Apa salahnya sih suka kue jahe? Orang enak gitu. Bilang aja lo sirik karena nggak dibeliin sama Kevin juga." Aku menyindir Alvin dengan sinis. Yang detik berikutnya fokusku beralih pada Kevin. "Thanks, Kev. Kapan-kapan pasti gue traktir hehe."

Kevin mengulas senyum santai. "Santai aja, May. Lagian gue tau lo lagi butuh stok banyak," tutur cowok itu diiringi dengan kekehan kecilnya.

Alisku langsung terangkat mendengar itu. Melongo sekaligus kaget.

"Woi, udahan yuk. Gue takut kena omel Bu Ida lagi. Kuy, Kev." Seenak jidatnya Alvin menyeret Kevin untuk pergi dari kantin. Tetapi, buru-buru kutahan.

"Lo duluan aja, Vin. G-gue mau ngomong sesuatu sama dia ...," kataku agak terbata, tak tahu kenapa.

Alvin mengernyitkan kening. Namun tak ayal akhirnya ia mempersilahkan. Pergi menjauh, keluar dari kantin tanpa menyeret Kevin.

Bingung. Itu yang kudefinisikan ketika melihat raut wajah Kevin saat ini.

"Kenapa? Apa yang perlu diomongin?" Kevin membuka pembicaraan.

Tanganku memilin ujung rokku dengan gugup. "Em, nggak sih sebenernya. Cuma ...," Aku menggantungkan penuturanku. Menelan kembali kata-kata yang telah kususun apik dalam benak.

"Lo meragukan sikap gue lagi?"

Seakan ditembak tepat, aku terdiam. Mengatupkan bibir rapat. Rasanya kelu untuk menyangkal tebakannya barusan.

Kulihat Kevin nyengir tanpa dosa. "It's okay. Tenang aja, May. Nggak usah maksain buat ngerti kalo emang bener-bener nggak ngerti sama sikap gue ke elo akhir-akhir ini."

"Gue yakin semuanya bakal berjalan pelan sesuai alur. Let it flow ae. Toh, pada akhirnya sebuah cerita pasti memiliki akhir. Dan saat itu, mungkin aja lo baru peka dan ngerti semuanya," lanjutnya dengan nada kalem namun tegas. "So, jangan terlalu dipikirin. Lagian gue juga nggak pernah merasa kesinggung sampe yang segitunya dengan ke-nggak pekaan lo itu hehe. Gue kan penyabar."

Rentetan kalimat Kevin tersebut membuatku tambah tidak paham. Rasa penasaran yang memang sudah ada sejak kemarin justru bertambah berkat kalimatnya barusan. Sungguh, aku benar-benar tidak paham.

Aku ini bodoh atau bagaimana? Sejak patah hati, aku memang merasa kepekaan rasaku mulai berkurang. Aku menjadi tidak pedulian dengan perasaan orang lain terhadapku. Padahal sudah cukup lama, tapi efek samping dari luka yang dulu sepertinya memang belum sepenuhnya hilang.

Teet!

Suara bel tanda masuk segera membuyarkan lamunanku. Buru-buru kubereskan meja kantin yang kutempati dan mengemasi makanan yang masih bisa kumakan di kelas. Tentunya, Kevin membantuku.

"Gue nggak tau mau gimana lagi ngebales semua sikap baik lo ke gue," ungkapku jujur ketika kami mulai beranjak menuju koridor. "Lo itu laki-laki terbaik yang pernah gue temuin di dunia ini selain Papa."

Kekehan pelan meluncur dari mulut cowok itu. "Ish, gue udah bilang. Let it flow ae. Nggak usah dibuat sepaneng."

Aku tak menanggapi banyak. Hanya tersenyum singkat dan menganggukkan kepala pelan. Entah kenapa, hatiku mulai meringan. Seiring dengan langkah kaki kami menyusuri koridor kelas 12 yang ramai. Seakan beban-beban tersebut mulai berkurang mengisi hati juga pikiranku.

Kamis, 8 September 2016

-♡|♡|♡|-

Rabu, 15 Januari 2020

a/n:

Finally first update on 2020! Kemaren-kemaren udah pengen up, tapi mood selalu nggak ngedukung buat pencet 'Publikasikan' wkwk Buat next chap, usahakan kupublikasikan secepatnya. And btw ... HBD KAK KEVINKUU, WYATB SEMOGA HARAPANMU LEKAS TERKABUL HEHE^^ Maaf ya telat awkwk

At last but not least, jangan lupa buat komen dan votenya. Aku bakalan seneng banget kalo ada yang mau baca cerita ini, apalagi yang udah ngikutin dari jaman VC huhu T_T

Tertanda,
tazkiya ms.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ginger breadsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang