Kepulan asap yang mengepul dari sekotak dimsum panas di tengah meja menemani kesunyian yang tercipta antara aku dan Acha beberapa saat lalu. Tidak, kami diam bukan berarti sedang bertengkar. Sebenarnya kami sama-sama sibuk 'beristirahat' sejenak, sebab sedari tadi kami terus tertawa tanpa henti membicarakan tingkah konyol teman-teman di sekolah ataupun hal lain yang lucu untuk diperbincangkan.
"Eh, May, gue mau cerita deh sama lo." Tiba-tiba Acha bersua, membuyarkan fokusku terhadap ponsel untuk sejenak.
"Apaan?"
Acha mengerling padaku. Entah apa maksudnya, "Gue diajak makan malem sama keluarganya Alfian, May," katanya mulai bercerita. "Gila, secepat itu. Tau nggak sih, gue tuh belum siap. Masa iya dia mau ngenalin gue ke keluarganya secepat itu? Apalagi kita kan baru delapan bulanan anjir."
Mendengarnya, aku hanya bisa tersenyum bangga.
"Hm. Bagus dong. Itu berarti Alfian bener-bener serius dan tulus sama lo. Beruntung lo bisa dapet cowok sebaik dan setulus dia," sahutku dengan nada antusias.
"Hehe. Iya, tuh anak emang baiknya kebangetan. Semoga lo juga bisa dapet cowok kayak dia ya."
"Pasti."
Dalam hati aku hanya bisa membatin pilu dan menahan perih dari luka lama yang kembali terkoyak. Rasanya perih, lebih perih daripada saat Alfian menolak halus perasaanku beberapa bulan yang lalu. Meski sudah lama, ingatan itu masih tercetak jelas di benakku. Tanpa tahu kapan dan siapa yang mampu menghapus semua ingatan tersebut.
Yang pertama sepertinya memang susah dilupakan. Hmm.
"Btw, abis ini lo langsungan?" tanya Acha, memecah lamunanku. Kulihat ia tengah menyumpit sebuah dimsum panas yang kami pesan setengah jam yang lalu.
Melihat Acha yang begitu enak mencicipi dimsum, aku pun tergugah juga untuk mencicipinya. Dan ternyata dimsum itu memang enak. Apalagi jika disantap dalam keadaan panas.
"May, gue serius deh. Ntar dulu atuh makannya. Ini Alfian mau kesini soalnya."
Deg.
Apa? Alfian ... kesini?
"Iya, dia kesini. Beneran ini, bukan hoax," ucap Acha seakan bisa membaca pikiranku. "Makanya gue nanya, lo mau langsungan apa nggak. Kalo nggak, lo bisa bareng kita. Dia bawa mobil kok."
Aku dengan bodohnya terbatuk kecil menanggapi perkataan Acha tersebut. Sedangkan Acha, yang kulihat, tersenyum menggoda.
"Lo udah move on kan? Atau ... masih mau menghindar kayak yang selama ini lo lakuin?"
Seakan ditembak tepat, aku hanya bisa terdiam. Mati kutu. Kehabisan kata. Ingin membalas namun tak tahu jawaban apa yang tepat untuk menyangkalnya. Perkataan Acha memang benar, setidaknya 80 persen.
Move on memang bukan perkara mudah bagiku. Apalagi sudah kubilang kan; yang pertama sepertinya memang sulit dilupakan. Alfian adalah yang pertama.
Dialah orang yang pertama memberiku harapan, sekaligus mematahkan hati untuk kali pertama. Dulu aku selalu merasa jijik jika temanku ada yang menangis-nangis ketika diputuskan oleh pacarnya. Dan ternyata ... ini toh rasanya patah hati. Memang benar-benar sakit.
Bahkan, sakitnya pun bisa berbulan-bulan atau malah menahun.
"May, ini lo jadinya gimana? Dia udah di tikungan depan, tinggal belok ke sini terus parkir. Lo yakin mau bareng atau mau langsung sendirian aja?" Acha kembali menyerbuku dengan pertanyaan. Rautnya terlihat bersalah, "sori kalo gue bikin lo nggak nyaman. Gue nggak maksud buat nyinggung lo."
Aku hanya diam, lalu menghela napas.
"Sans. Gue sendiri dulu aja. Nggak enak kayaknya kalo gue ada diantara kalian," Aku menggantung kalimatku. "gue nggak mau cerita lama kembali terangkat. So, have fun, Cha. Gue yakin lo yang terbaik buat dia. Elo orang yang tepat buat dia untuk mengakhiri cerita itu."
Aku tidak tahu dengan diriku saat ini. Kecewa bercampur kesal, aku pun pergi begitu saja setelah merapikan tasku secara asal. Tanpa salam perpisahan seperti biasanya. Hanya sekilas aku tersenyum tipis pada Acha, yang tentunya dibalas gadis itu dengan raut tak terbaca.
Akhirnya, aku keluar dari resto dimsum dengan keadaan yang berantakan. Tas yang belum terkancing sempurna. Kepala yang tertunduk dengan raut wajah masam. Mata memerah menahan tangis.
"Finally, lo keluar juga."
Langkahku terhenti begitu saja. Kepalaku mendongak sepenuhnya mendengar suara serak itu dan membelalak ketika mengetahui ada yang menungguku persis di depan resto dimsum meski hujan baru saja reda.
Tunggu, kenapa dia ada disini?
"Ayo pulang. Lo pasti kedinginan. Bisa repot kalo lo sakit," katanya seraya meraih sebuah helm yang kemudian disodorkan kepadaku.
"Sori gue nggak bawa mobil. Niatnya sih pengen jemput pake mobil, tapi ternyata mau dipake papa dinas keluar kota," lanjutnya diiringi dengan senyuman.Heran. Kenapa dia selalu begini? Datang tanpa disuruh dalam keadaan dimana aku ingin sendiri. Seolah ia tahu kalau saat ini suasana hatiku tengah buruk.
"Lo ... udah sejak kapan disini? Lama?" tanyaku akhirnya dengan hati-hati. "Lo seriusan nungguin gue?"
Orang itu lagi-lagi tersenyum. Senyuman yang sekilas santai, namun di satu sisi terlihat miris. Membuat aku yang melihatnya merasakan betapa kecewanya dia. Dan mungkin saja ... itu karena diriku sendiri.
Tapi aku salah apa?
Aku pun juga bingung, karena aku tak merasa pernah menyakitinya.
Rabu, 7 September 2016
-♡|♡|♡-
Kamis, 26 Desember 2019
a/n:
Yuhu, i'm kambek! Maaf karena cerita ini lama keanggur dan tingkat keabalannya meningkat gegara udah hampir 1 taun lebih aku ga nyentuh watty lagi :"
Btw, jangan lupa buat vomments guys. Tunggu update selanjutnya yaa.
Salam yang terdalam,
tazkiya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ginger breads
ContoON GOING | Flavor Series #2 Di dalam diamku ini, aku mengagumimu. Banyak harapan yang beterbangan diantara perasaan ini. Tertiup oleh angin waktu. Dan menguap oleh ketidakpastian. Sampai kapankah aku akan bertahan? -0-0-0- "Ginger Breads" Copyrigh...