Bab 15

35K 3.3K 110
                                    

"Mom ..."

"Hmm."

"Genta ulang tahun hari ini."

"Iya Mommy tahu kan Alan udah bilang dari tiga hari lalu." Indira menaruh roti yang telah diolesi selai ke piring Alan.

"Mommy pulang malam lagi?" tanyanya dengan wajah teduh.

"..."

"Hmm. Mommy cari uang untuk beli susu Alan. Untuk bayar sekolah Alan. No problem, Alan bisa pergi sama Lisa, dan Tante Ratna."

Indira bahkan tidak sampai hati melihat anaknya menampilkan ekspresi seperti itu. Tapi yang dilakukannya sejauh ini adalah bersyukur karena memiliki Alan dihidupnya. Anak itu seperti anugrah dihidupnya, setelah melarikan diri dari semua masalah, Alan tumbuh dirahimnya sebagai pengobat penderitaannya. Tak pernah terbersit sedikitpun dipikirannya untuk menghilangkan Alan dari dalam rahimnya, Alan adalah kenangan yang sangat berharga yang ia miliki dengan pria yang dicintainya. Setelah semua kehilangan yang dirasakannya hidupnya tidak akan pernah sebaik ini jika tidak ada Alan.

Alan anak yang cerdas dan sangat pengertian ia tidak banyak menuntut. Sejak kecil bahkan Alan sudah dititipkan di tempat penitipan anak sementara Indira harus bekerja dari pagi sampai sore menjadi editor di sebuah tabloid lokal.

Saat hamil Alan Indira hidup dengan mengandalkan tabungannya Indira menghabiskan waktunya di flat, bekerja sambilan membuat artikel dan mengirimnya ke koran-koran lokal. Ia menetap di Kanada, tanah kelahiran Jessi dan tinggal disebuah flat kecil satu kamar. Lalu setelah Alan lahir Indira pindah mengontrak sebuah rumah yang lebih besar setidaknya yang memiliki kamar untuk Alan dan ketika itu juga Indira diterima bekerja di perusahaan yang sama dengan Jessi atas rekomendasinya. Peran Jessi memang sangat besar, Indira tidak tahu harus bagaimana membalasnya kelak.

"Mmm. Mommy udah minta ijin sama kantor Mommy untuk pulang lebih cepat, jadi ... "

Wajah Alan berubah ceria, "Jadi Mommy bisa anter Alan? Yey ..." pekiknya girang.

"Iya sayang."

"Kadonya jangan lupa ya, Mom?"

"Iya ..."

"Mom."

"Hmm."

"Richard kemarin nangis, dia nggak mau main, dia bilang Daddynya pergi dari rumah. Trus Alan bilang Alan nggak punya Daddy tapi masih bisa main. Ya kan Mom."

"..."

Indira terhenyuh dengan tatapan nanar, Alan akan bercerita apapun yang dilakukannya di sekolah, namun ia memang jarang membahas tentang Ayahnya, pernah suatu kali ia menanyakan tentang Ayahnya dan disitu Indira menangis, semenjak itu Alan tidak berani menanyakan lagi tentang Ayahnya karena takut Ibunya menangis.

Indira mengerjapkan matanya, menahan laju air mata yang hendak keluar. "Oke... Sekarang Alan cepat habisin rotinya. Nanti Lisa nunggu nggak enak sama Tante Ratna."

Alan segera menghabiskan makanannya dan mengambil tasnya. Sejak kecil Indira sudah mengajarkan Alan untuk mandiri, Alan bahkan tidak pernah menangis ketika di titipkan ke tetangganya. Setiap pergi dan pulang sekolah ia akan bareng dengan Lisa tetangga sebelah rumahnya, ia akan berada dirumah Lisa sampai Indira menjemput, meskipun sering kali Alan sudah tertidur sebelum Indira pulang.

Dan ketika Alan sudah hilang dari balik pintu barulah Indira menangis, mengeluarkan segala rasa pilunya, batinnya akan terus tersiksa melihat Alan yang seolah mengisyaratkan ia tidak apa-apa. Namun ia sangat yakin jika dalam lubuk hatinya Alan ingin merasakan rasanya dipeluk seorang Ayah. Kesalahannya tak termaafkan, ia tidak mungkin sanggup mempertemukan Alan dengan Satria.

Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang