Ada 4 hal yang harus kamu ketahui dari sosok laki-laki itu, pertama dia menyebalkan, kedua dia pintar, ketiga dia adalah ketua kelas yang sering kabur dari tanggung jawabnya, tak lupa ia adalah tukang kode. Aku sangat tidak menyukainya, namun ada satu hal yang harus ku akui, bahwa Ronanda dikaruniai wajah yang rupawan yang membuatku merasa percuma untuk membencinya dan berdemo kenaikan gaji, bukan tapi berdebat mengenai kinerjanya sebagai sosok pemimpin. Ah lebay.
Demokrasi memang harus diterapkan semenjak duduk di bangku persekolahan, begitupun di kelasku. Pencalonan ketua kelas beserta aparaturnya menjadi hal yang ditunggu oleh para siswa yang kompeten terkecuali aku. Beberapa kandidat maju unjuk gigi, lalu sekedar berorasi mengenai program kelas apa yang akan ia canangkan, memang agak berlebihan untuk cangkupan kelas tapi rangkaian pemilihan seperti ini sukses membuat sosok pemimpin berkualitas seperti kakak kelas di angkatan kami yang kini menjadi pemimpin organisasi besar seperti organisasi cabang kabupaten. Lanjut cerita, ada sosok yang paling mengganggu mataku, laki-laki berperawakan tinggi berpakaian rapi tak berkumis tak berjanggut dan apalah itu dengan senyum hangat di depan kelas membawakan visi dan misinya untuk kelas secara gamblang.Aku tertarik kemudian ikut hanyu dengan suasana dan mengagumi betapa tampannya dia. Waktu terasa berhenti sekejap, kemudian berganti dan dilanjutkan dengan pemberian suara atau voting. Dalam kertasku tertulis nama RONANDA.Ya, ku harap perasaan kagumku pada si anak baru sakaligus bakal ketua kelasku ini akan terbalaskan seiring dengan berjalannya waktu.
Semua aktivitas kelas dijalankan dengan baik awalnya, sampai suatu saat, lelaki jangkung itu mulai bertingkah. Ia sedikit kasar padaku, atau mungkin cukup kasar, tidak peduli dengan kelas, dan lainnya.
"Kamu bisa kan nyapu itu sampai bersih?"tanyanya padaku dengan nada menantang. Aku tertegun, lalu menatapnya balik dengan melawan.
"Mungkin bisa, jika kamu memperlakukan anggota kelasmu ini dengan baik." Sahutku kemudian membuang muka. Aku menyapu dengan geram.
Aku menyusuri jalan berhias batu sikat bersama ketiga temanku, sekarang telah menunjukkan pukul 3 lebih 25 sore itu artinya jam istirahat bagi kami yang menjalani rutinitas sekolah siang. Setelah memboyong beberapa roti, dan jajan kemasan kami kembali ke kelas.
Aku kembali duduk ke kursiku seraya memakan 2 dari 3 macam jajanan yang ku beli tadi, maklum rasa lapar mudah muncul ketika melakukan rutinitas pada saat-saat sore, itulah kenapa seharusnya aku diet. Ronanda duduk menyamping, wajahnya yang oriental dengan bola mata besar yang dipicingkan padaku membuatku berhenti sekejap untuk mengunyah. Ini isyarat perang. Kode-kode ancaman yang kedua, "Jika seseorang tidak menyukaimu, ia akan memperihatkan ekspresi tidak wajar layaknya orang gila." Aku tidak tahan melihat mukanya. Sontak aku memekik padanya. "Apa liat-liat?"
Sejurus kemudian, ia menyahut tak kalah keras, "Orang ganteng kan bebas." Ujarnya membuat beberapa anak lainnya menoleh pada kami, aku langsung memalingkan wajahku.
Hari terus berlanjut, semakin hari dirasa semakin melelahkan dengan tugas yang juga makin menumpuk. Suatu waktu saat perjalanan pulang tak sengaja aku melihat sosok jangkung menepi di sudut tangga dekat kelasku. Aku tak berani mendekat karena suasana sudah cukup sepi. Aku terdiam untuk beberapa saat untuk melihat siapa orang itu. Tetapi ia tak kunjung berbalik badan. Aku tak mau membuat ibuku khawatir jadi masa bodoh saja dengan siapa itu, aku harus segera pulang karena matahari telah diselimuti kabut malam.
Suara bapak guru tersalur melalui TOA yang berbunyi nyaring gemanya di penjuru kelas. Rupanya Ronanda menjadi sekian dari puluhan murid yang diminta menuju ruang BK.Suasana kelas yang sedikit ribut kemudian disela oleh guru pengajar saat itu. Memang ada rumor di antara kami jika Ronanda terlibat beberapa macam kericuhan di luar sekolah.
Kembali di saat pulang sekolah, sosok jangkung itu lagi-lagi terlihat di sudut mataku sama seperti hari terdahulu. Kali ini ia terisak, tangisnya terdengar oleh telingaku. Aku merasa merinding lalu berlari tunggang langgang menuju parkiran karena ketakutan.
Pelajaran matematika berlangsung, Ronanda maju berulang kali membabat habis seluruh soal yang diajukam guru.Aku tak perlu heran.Usai pelajaran matematika kemudian dilanjutkan kelas bahasa daerah, Ronanda berulang kali mengirim sinyal sinyal padaku, kode modus yang ke-7,"Orang yang tidak menyukaimu akan berusaha menjatuhkanmu lewat gerak-gerik tak lazim." Aku membuang muka. Apa sebenarnya yang ia cari dariku?
Ronanda kadang melupakan panggilan wajibnya sebagai ketua kelas, aku tidak ikut campur soal itu. Tapi, haruskah ia selalu mengirim sinyal dengan merubah mimik wajah ke hadapanku? Duh, aku bukan telegram ya!
"Bisa gak sih berhenti?"tanyaku yang lantas dibalas dengan gelengan.
"Apa sih maumu?" tambahku dengan menatapnya sinis.Kami saling bertatapan dengan muka garang. Aku semakin berang lalu ku pukul mukanya hingga bonyok. Kami pun diseret ke ruang BK. Aku sungguh benci suasana di mana seharusnya aku bisa duduk manis di kelas sambil memutar mp3.
"Kalian kenapa, nak?" tanya guru BK pada kami, aku tak mau menyahut.Dia pun sama. Kami membisu di ruang BK. Proses konseling berlangsung 2 jam karena kami lebih memilih tidak menjawab daripada menyahut karena sikap itu akan memberi kesan bahwa kami pembangkang. Setelah konseling ditutup, kami diperbolehkan kembali ke kelas.
Aku berjalan lebih dulu diikuti olehnya.Tak lama kami pun berjalan sejajar, aku merasa agak risih tapi, "Tahukan gimana rasanya?" tanyanya padaku. Aku berusaha menelaah ucapannya. Ia menjitak kepalaku sedikit keras, "Aku tahu aku tampan dan pintar." Tambahnya menyanjung dirinya sendiri, aku hampir muntah dibuatnya."Tapi gak semua yang punya cover bagus harus ngelakuin hal bagus dan sama seperti pikiran busukmu itu." Imbuhnya. Otakku mulai memproses perlahan. Tapi kakiku tidak selaras dengan gerak impuls saraf yang bekerja di otak. Aku mempercepat langkahku menjauh darinya. Aku ingin berada sejauh mungkin darinya agar ia tidak membaca pikiranku lagi, walaupun mungkin tidak bisa.
Jam pulang sekolah kembali datang, aku bersama 3 orang temanku berjalan menuju lobi utama sekolah dan melewati sebuah tangga sepi menuju laboratorium kimia. Rupanya sosok jangkung itu berpindah lokasi untuk menangis lagi. Isakannya semakin terdengar membuatku bergetar. Risa merengek ingin pergi, begitu juga Intan dan Ista. Tapi aku bersikukuh untuk menyingkap siapa yang ada di balik tangis ini.
Aku mendekati sumber tangisnya, suaranya semakin pelan. Aku bergerak konstan, kira-kira hanya sejengkal dari tumpuan sebelumnya. Tepat sudah. Aku menepuk bahunya pelan. Wajah merona Ronanda muncul dari punggung tinggi itu, matanya yang biasa berkilau kecoklatan kini masih tergenang air mata. Jadi intinya, dia masih menangis.
"Apa yang ada di pikiranmu?"Suasana berganti hening. Kami saling bertatapan dalam diam. Waktu menunjukkan pukul 6 lewat. Aku harus pergi sekarang sebelum pintu gerbang sekolah di tutup. Tiba-tiba, aku merasakan ia mencengkram lenganku. "Berhentilah memandangku buruk. Kembali lagi, El." Aku tertegun dan kembali menatapnya. "Aku mengerti bagaimana pandangan orang yang menilaiku pada 2 sisi." Lanjutnya. "Tapi aku tidak bisa selalu menjadi hal yang sama." Ujarnya lalu menjauhkan tangan itu dari ku. Aku bersama tiga temanku bergegas pergi pulang meninggalkannya seorang diri di sana.
Tak berselang lama, Ronanda dinyatakan hengkang dari sekolah, aku tidak mengerti bagaimana alur pemikirannya. Dan ucapannya menjadi hal yang masih ganjal dalam benakku.
Tahun ajaran baru datang, kelasku kembali disinggahi murid baru yang juga tampan dan pintar. Dia mencalonkan diri menjadi ketua kelas. Aku menatapnya dari posisiku. Aku menulis namanya dengan huruf kapital. RONANDA 2. Aku harap dia akan membalas rasa kagumku. Dan semuanya pun terulang kembali. Aku begitu membencinya dan dia lebih bertindak di luar kebiasaan yaitu menjitak kepalaku. Jadi intinya, kalian tidak boleh menilai orang dari luarnya.
"Duh, diam dong!" bentakku padanya yang melempariku dengan kertas bekas.
"Orang ganteng kan bebas." Sahutnya.Aku menarik nafas dalam lalu menimpukknya dengan kotak pensil. Kami pun berakhir di ruang BK.
SELESAI
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG KETUA KELAS [ONESHOOT]
Short StoryKalau ketua kelasnya tampan, keren, apalagi tanggung jawab ya pasti temen perempuannya bakalan ngidol kali ya, mungkin aja. Tapi nyatanya kekerenan Ronanda cuma berlangsung beberapa saat bagi Elsa. Hmm.. Penulis : RPK "Orang ganteng mah bebas."-Rnd...