Bab 4. What's a Night?

205 100 17
                                    

Kindly vote after you read this four. I hope you enjoyed this story!

[BAB 4]

Can you feel my heartbeat?

Ku ketik nomor ponsel Ayah berkali-kali namun tak kunjung diangkat. Aku berdiri di depan lobby dengan muka ditekuk, bagaimana tidak? Disaat semua tamu di pesta pernikahan Dita bisa pulang dengan nyaman diriku justru ditinggal pulang duluan.

Nomor kakak yang kini ku coba hubungi, Deva memang sedari tadi bersamaku namun tiba-tiba pergi entah kemana. Faris bilang padaku kalau kakakku itu ijin pergi mencari ayah dan bunda, dan itu pertanda buruk karena dugaanku bahwa Deva pergi semakin benar.

“Halo dek,” Suara Deva terdengar dari ponselnya.

“Kak Deva ninggalin Rai ya,” Seruku dengan nada kesal, rasanya aku ingin menangis. Tau begini aku memilih numpang Faris tadi, namun semuanya sudah terlambat.

“Dek sorry banget, tadi ayah ada operasi mendadak dan aku harus jemput Jenna,” Ucapnya.

“Terus Rai gimana? Rai gak berani naik taksi kak, ini udah jam sepuluh lewat,” Rengekku.

Aku sudah tak peduli lagi meskipun semua orang di lobby hotel memandang penuh rasa ingin tahu. Aku tak peduli.

“Teman-teman yang lain sudah pulang?”

“Setahu Rai udah pulang, mereka bareng-bareng tadi pulangnya,” Jawabku lirih, ini benar malam minggu yang suram untukku!

“Agil juga?”

What?

“Agil, Rai. Apa dia udah balik juga?” Ulang Deva, aku menjauhkan ponselku dari telinga, memandang ponsel itu dengan lirikan sinis.

“Ya mana aku tau kak! Emangnya Rai pacarnya Agil apa!” Ketusku.

“Emang kamu mau jadi pacarnya, kok ngomong gitu?”

“Ih kak Deva!” Sungutku.

“Yaudah kamu tunggu, kakak mau cari solusi buat jemput kamu! Ingat stay di lobby, dan jangan loncat kemana-mana,” Cerocosnya panjang lebar, dan sambungan di putus sepihak.

'Kak Deva nyebelin!' Batinku.

&&&

Aku melabuhkan tubuhku di sofa lobby dengan wajah ditekuk total, usai telfon terakhir beberapa menit yang lalu Deva sama sekali belum membalas satupun chat yang ku kirim lewat Line. Dibaca saja tidak, mana mungkin dibalas!

Tak terasa mataku berubah berat, hari ini memang aku pulang kerja cepat namun itu sama sekali tak berguna jika mengingat aku belum tidur sama sekali sore tadi. Aku memutuskan untuk menutup mata, mencoba merilekskan pikiranku yang kacau. Berharap setelah ini aku bisa cepat pulang dan tidur dengan nyaman di kamar.

Sebuah gerakan di sisi kiriku membuat aku tersadar bahwa kini aku tak sendirian duduk di sofa. Kubuka kelopak mata dengan malas secara perlahan dan melihat sebuah pundak kokoh dengan balutan tuxedo menatapku tajam, aku berjengit mengetahui siapa lelaki itu.

“Astagfirullah!” Pekikku.

Aku mengelus tempat dimana jantung ku singgah dengan gerakan naik turun, kini duduk ku sudah bergeser lebih jauh dari semestinya. Dia tidak menampakkan ekspresi bingungnya atau kesal, wajah lelaki itu tetap datar. Dan aku semakin malu karena lagi-lagi melakukan hal bodoh di depan lelaki itu.

IrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang