Lagi-lagi hujan, huft... Aku tak suka hujan. Aku takut hujan. Dan aku “benci” hujan. Bukan, bukan benci akan anugerah ini, tapi benci terhadap suara berisik yang akan timbul saat tetesan air hujan berjatuhan di atas atap rumahku yang terbuat dari seng ini. Ya kan, satu persatu titik air hujan mulai berdentingan menari-nari di atas atap rumah kecilku ini, seperti sedang berpesta merayakan sebuah kemenangan. Aku takut, aku sendirian. Ibu... cepatlah pulang, aku menjerit dalam hati. Rasanya semua urat sarafku berontak ingin keluar, merinding, menggigil, dan takut, itulah perasaan yang selalu kurasakan saat turun hujan. Ya, bagi sebagian orang, mungkin yang kualami ini memang aneh. Tapi bagiku itu sah-sah saja.
Semakin deras, dan semakin keras pula suara mengerikan hujan siang ini. Aku hanya terdiam di sudut ruangan kecil ini, ya ruang makan, dengan sebuah meja kayu dan dua buah kursi tanpa sandaran. Aku tak bergerak dan memang tak ingin bergerak. Tetesan air dari langit-langit yang bocor di ruangan ini sudah membasahi hampir seluruh bagian celana panjangku. Tapi hal itu tak akan bisa membuatku bergerak pergi dari tempat ini sekarang, satu milimeterpun aku tak mau. Aku takut, jika akan terjadi apa-apa jika aku bergerak. Pemikiran aneh yang selalu keluar saat hujan tiba.
Hampir dua puluh menit aku terdiam di tempat itu, tak bergerak sama sekali, yang membuat punggungku serasa ingin patah. Wah, hujannya sudah reda, benar-benar sudah reda. Aku pun berdiri dan meregangkan kedua tanganku. Sekarang, setelah hujan reda, sudah menjadi kebiasaanku untuk membereskan sisa-sisa pesta pora rintik-rintik hujan yang begitu melelahkan ini.
Aku mengambil lap pel dan mulai membersihkan genangan air di lantai tempatku duduk tadi. Sudah bersih, sekarang aku beranjak ke dapur, apa ini, hampir seluruh lantai dapurku basah, tanpa banyak bicara aku mengepelnya, dan...
“ Oh tidaakkk !!! “ teriakku terkejut.
Aku melihat nampan berisi ikan asin pemberian Bu Nita, pedagang di pasar. Itu satu-satunya lauk yang kami punya sekarang.
“ Ya ALLAH bagaimana ini? Ibu pasti marah kalau tau ikan asin ini terendam air. “ suaraku bergetar.
Aku memutuskan untuk membuang saja ikan asin yang sudah lembek ini. mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Jika ibu datang nanti aku akan segera minta maaf dan berjanji akan menggantinya kalau aku punya uang nanti. Aku memasukkan seluruh isi nampan itu kedalam tas kresek dan membuangnya ke keranjang sampah yang sudah berlubang-lubang di tepi meja kompor.
Aku menuju ke kamarku, mengecek keadaannya. Berharap tak akan terjadi hal buruk di kamar kesayanganku itu. Fiuhh... syukurlah, kamarku baik-baik saja, tak ada genangan air di lantainya, dan tak ada percikkan air dari jendela di kasurnya. Kubuka jendela yang sejak tadi tertutup, semilir angin sejuk menerpa wajahku, membawa aroma khas air hujan. Membuaiku dan mendorongku agar sejenak memejamkan mata. Tiba-tiba aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Kusandarkan lap pel yang kubawa ke tembok. Kubaringkan tubuhku ke kasur tipis bersprei biru itu.
“ Nyaman sekali.” Ucapku lirih
Sejenak kupejamkan mataku, merasakan nyamannya berbaring di tempat tidur ini. Kubuka mata dan kuamati langit-langit kamarku. Kotor, banyak sarang laba-laba yang terbentang di sana-sini, cicak-cicak memain-mainkan ekornya dan sesekali saling mengejar satu sama lain.
“ Jorok sekali kamu, seorang gadis pemalas yang tak mau membersihkan kamarnya sendiri,” aku berkata pada diriku sendiri.
Sekali lagi kupejamkan mataku, dan tak terasa aku mulai terbuai ke alam mimpi. Hingga.... kreteekkk... Aku terkesiap dan sontak membuka mata. Ternyata pintu depan rumahku telah terbuka, membuat secercah cahaya dan hembusan angin masuk memenuhi setiap jengkal rumahku. Kulihat sepeda tua ibu sudah tersandar ditempanya, sebuah tas kresek hitam tergantung di setirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan Jagalah Rintik Untuk Hujan
Teen FictionRintik bersahabat dengan Awan, lalu bertemu dengan arwah laki-laki bernama Hujan yang ternyata ..................... ( cerpen tugas sekolah ) XD