Sudah menjadi kebiasaan di kelas 12 IPA 1, bahwa setiap awal bulan akan diadakan pergantian posisi duduk. Meskipun hal itu sia-sia---mengingat beberapa anak senang duduk seenaknya.
Tapi, wali kelas mereka, Bu Lia, tetap saja menjalankan tradisi yang sudah ia lakukan sejak menjadi wali kelas untuk yang pertama kalinya.
Setelah dilakukan perundingan, Bu Lia setuju bahwa posisi tempat duduk mulai hari ini, hingga bulan depan, akan ditentukan oleh nomor absen setiap siswa.
Mendengar hal itu membuat Daffa mau tak mau berpindah dari tempat favoritnya, pojok belakang kelas, dan berpindah ke meja yang berada tepat di depan meja guru, berhubung ia mempunyai nomor absen 6.
Bencana, batin Daffa. Ia segera mengangkat tasnya, dan berjalan menuju meja yang akan ia tempati sebulan ini.
Dengan malas, Daffa duduk di bangkunya dan mulai membuka buku paket matematikanya secara acak. Bukannya berniat untuk benar-benar belajar, ia hanya bingung harus melakukan apa.
Tak berapa lama, seorang perempuan berdiri di samping mejanya seraya memeluk buku pelajarannya. Ia memperhatikan Daffa penuh arti, seolah meminta ijin untuk duduk di sebelahnya.
Merasa diperhatikan, Daffa menolehkan kepalanya dan mendapati Deeva berdiri di sana, masih dengan tatapan yang sama. Dan tanpa peduli, Daffa kembali mengalihkan pandangannya dan membaca soal yang terpampang di bukunya, bersikap seolah dirinya sedang sibuk sekarang.
"Ummm... gue... gue duduk, ya," ucap Deeva hati-hati. Tidak pernah ia merasakan gugup seperti ini.
Daffa hanya diam. Tidak menoleh atau menjawab walau hanya dengan anggukan kepala. Laki-laki itu tetap diam di tempatnya dengan tangan yang terus mencoret-coret kertas. Seolah, Deeva tidak ada di sana.
Dengan terpaksa, Deeva akhirnya duduk. Walaupun ia sendiri tidak tahu, apa Daffa benar-benar mempersilakannya untuk duduk atau tidak. Yang terpenting sekarang adalah, ia bisa duduk dan mengikuti pelajaran dengan tenang.
"Baiklah." Bu Lia membuka suara. Ia memperhatikan keadaan kelas yang sudah mulai kondusif. "Seperti biasanya, kita akan mengadakan pretest sebelum memasuki bab baru ini, untuk menguji apakah kalian belajar atau tidak semalam."
Suasana kelas mendadak ramai. Hampir semuanya, tak terkecuali Deeva, bersorak tidak setuju. Berhubung bab matematika yang akan dijadikan tes kali ini adalah bab yang tersulit untuk mereka.
Bu Lia mengetuk papan tulis dengan spidolnya. "Tenanglah. Soalnya tidak sulit jika kalian sudah belajar tadi malam. Lagi pula, kalian 'kan kelas unggulan," ucap Bu Lia santai.
Ugh, lagi-lagi, batin Deeva berucap.
Deeva melirikkan matanya ke arah Daffa. Ia terlihat tenang, seolah sudah siap dengan soal yang akan diberikan oleh Bu Lia. Tidak seperti Deeva yang sudah panik setengah mati dan mulai membaca buku paketnya dengan cepat, berharap ada beberapa topik yang menyangkut di otaknya.
"Masukkan buku kalian ke dalam tas. Tidak ada apapun selain lembar jawaban dan alat tulis!" Bu Lia mulai membagikan soal. "Jangan lupa tulis caranya menggunakan pulpen. Saya tidak menerima jawaban dengan pensil, atau dengan coretan dan tip-ex. Jadi, tolong kerjakan dengan teliti."
Selain pretest yang selalu diadakan setiap memasuki bab baru, Deeva juga membenci peraturan wali kelasnya yang menurutnya sangat amat merepotkan.
Dengan cepat, Deeva memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan mengambil lembar jawaban beserta lembar kosong untuk menghitung jawaban.
Untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari 5 menit, Deeva melirik ke arah Daffa yang sudah mulai mengerjakan dengan tenang. Raut wajahnya terlihat serius. Bahkan, ia sudah mulai mendapatkan satu-persatu jawaban. Dalam waktu sesingkat itu.
Sementara Deeva hanya dapat meringis pelan. Padahal, soal yang diberikan hanyalah soal-soal dasar. Tapi, karena semalam tidak belajar, Deeva tidak bisa mengisi satu nomor pun.
Waktu terus bergulir. Deeva baru menjawab 3 dari 20 nomor. Dan waktu yang disediakan tinggal tersisa 30 menit lagi.
Dalam hati, Deeva merutuk sekaligus berharap agar ia mendapat keajaiban di menit-menit terakhir.
Pasalnya, hukuman jika gagal dalam pretest, post test atau pun ulangan di pelajaran matematika amat lah berat. Deeva tidak mau mendapat hukuman.
Deeva melirikkan matanya ke arah lembar jawaban milik Daffa. Hanya tinggal 1 nomor yang masih kosong. Dan dalam waktu kurang dari 3 menit, nomor itu sudah terisi.
"Daf," panggil Deeva pelan. Ia memberanikan dirinya untuk meminta bantuan. "Tolong."
Tanpa bersuara sedikit pun, Daffa menggeser kertas coret-coretannya ke hadapan Deeva dan bangkit dari bangkunya, lalu berjalan ke meja guru, menyerahkan lembar jawaban dan soal matematika itu ke Bu Lia. Dan kemudian, ia berjalan keluar kelas dengan tatapan kagum dari teman-temannya.
Memang, sih hal itu sudah sering terjadi. Tapi tetap saja kehebatan Daffa mengundang kekaguman dari teman-teman sekelasnya.
Untuk murid yang lebih sering tidur di kelas dibandingkan mendengarkan penjelasan guru, hal itu sangatlah menakjubkan.
Deeva menatap Daffa dengan tatapan penuh terima kasih sejenak sebelum akhirnya mulai menyalin jawaban milik Daffa.
Dalam hatinya, ia berjanji akan membalas perbuatan Daffa kali ini.
---
Daffa kembali mencoret option A untuk nomor 19. Kemudian, ia membaca soal nomor 20 dan kembali mencari jawabannya. Waktu masih tersisa 30 menit lagi, dan ia sudah berhasil menemukan jawabannya.
Setelah meletakkan pensilnya di atas meja, Daffa berniat untuk menumpulkan lembar soal dan jawaban miliknya. Tapi, gerakannya terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namanya.
"Daf, tolong."
Seraya memutar bola matanya, Daffa menggeser kertas coret-coretan di hadapannya, dan meletakkannya tepat di hadapan Deeva. Entah apa yang terjadi, ia hanya ingin membantu perempuan itu saja.
Kemudian, Daffa keluar dari kelasnya, dan berjalan menuju kantin. Tidak peduli bahwa bel istirahat belum berbunyi.
---
Natta menatap Deeva tak percaya. Sampai-sampai, ia mengacuhkan sepiring nasi goreng di hadapannya.
"Demi apa dia ngasihin jawabannya ke elo?" tanya Natta sekali lagi. "Sumpah, sumpah, sumpah, gue nggak nyangka."
Deeva memutar bola matanya sesaat sebelum akhirnya berkata, "ya nggak percaya, sih nggak percaya. Tapi jangan sampe heboh gitu juga kali."
Natta memukul-mukul meja kantin beberapa kali dengan heboh. "Tapi ini, Daffa lho. Daffa!"
"Ada apa sama gue?"
Keduanya menengok dengan mata yang terbelalak, menatap laki-laki yang berdiri tepat di belakang Natta.
"Mati gue," gumam Natta pelan. Sementara Deeva hanya menunduk, menatap kedua tangan yang ada di atas pahanya.
Daffa memutar bola matanya, kemudian beranjak pergi menuju tempat kedua sahabatnya menunggu.
Setelah mengetahui bahwa Daffa sudah tidak ada lagi di belakangnya, Natta akhirnya mengembuskan napasnya lega. "Gila. Serem banget," gerutu Natta pelan.
Sementara Deeva hanya diam. Matanya menatap punggung Daffa yang menjauh. Dan secara tiba-tiba, detak jantungnya menjadi cepat.
---
Halo! Ketemu lagi sama gue, author gaje yang, demi apapun, ceritanya masih abal.
Btw, makasih buat yang udah mau vote dan komen. Dan sekali lagi, gue minta kritik dan sarannya biar gue bisa nulis dengan lebih baik lagi.
Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
Flipped
Teen FictionCinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Dan kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya da...