Satu

2.3K 80 27
                                    

Cowok Menyebalkan     


Langit yang begitu biru melatari arak-arakan awan berbagai bentuk. Aku mengulurkan tanganku, membayangkan tanganku menyentuh putihnya awan itu. Aku tak dapat menahan senyumku membayangkan gumpalan awan di tanganku. Akan seperti apa rasanya... menyentuh awan?

Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba sebuah tangan asing menggenggam jemariku yang terarah ke langit. Lalu sesosok wajah muncul di atasku. Aku terkesiap dan hendak menarik tanganku, tapi tangan itu masih mengenggam tanganku erat. Aku menatap orang yang memegang tanganku itu, berusaha untuk tidak panik.

Seorang cowok, tampaknya seusia denganku, dan aku bisa melihat karakter usil di wajahnya yang... okelah, dia cukup tampan. Ketika cowok itu tersenyum, aku menyipitkan mata curiga. Siapapun cowok ini, aku tidak mengenalnya. Lalu, masih dengan menggenggam tanganku, cowok itu duduk di sebelahku, dan ikut berbaring.

Tatapanku terus mengikuti apa yang dia lakukan. Aku menoleh ke samping untuk menatapnya, yang sekarang sedang mengamati tanganku. Melihat itu, aku kembali berusaha menarik tanganku, tapi dia tetap menggenggam tanganku seerat sebelumnya.

"Tanganmu kecil, ya?" Suara cowok itu terdengar penasaran.

"Dan apa urusannya itu ama kamu?" balasku kesal sambil berusaha menarik tanganku, lagi, dan gagal, lagi. "Lepasin tanganku," kataku tak sabar.

Cowok itu menoleh ke arahku dan tampak geli. Baiklah, dia pikir ini lucu.

Nih cowok nyebelin banget, gerutuku dalam hati.

"Siapa namamu?" ia bertanya.

Aku tak menjawab, masih berusaha menarik tanganku.

"Kalo aku ngelepasin tanganmu, kamu bakal ngasih tau namamu?" ia memberi tawaran.

Aku mendecakkan lidah kesal. "Kamu datang dan gangguin aku, sekarang seenaknya kamu maksa aku ngasih tau nama. Emangnya kamu pikir, kamu siapa?" omelku.

Cowok itu tersenyum geli. "Ternyata, meskipun tanganmu kecil, kamu galak juga, ya?"

Aku mendelik galak.

"Kamu juga nggak terlalu tinggi, nggak terlalu cantik, tapi juteknya luar biasa," ia melanjutkan.

Enough!

Aku menyentakkan tubuhku untuk duduk, lalu aku tersentak ketika semuanya lenyap, dan aku menyadari mataku masih separuh terpejam, mengantuk. Aku mengucek mata dan akhirnya membuka mataku lebar-lebar. Aku mendesah lega ketika akhirnya berada di kamarku lagi, di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamarku.

Itu tadi hanya mimpi. Dan itu adalah mimpi yang paling menyebalkan. Semalam, ketika aku hendak tidur, aku memikirkan diriku berada di tengah padang rumput yang luas dan indah, menatap langit yang cerah. Biasanya, apa yang kupikirkan sebelum tidur, akan berlanjut ke alam mimpiku. Tapi semalam, aku sama sekali tidak memikirkan seorang cowok asing yang menyebalkan dan... okelah, cukup tampan itu.

Aku menghembuskan napas kesal. Aku menoleh untuk menatap jam dinding dan mengerang ketika melihat jam masih menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Ini masih terlalu pagi. Biasanya, aku akan bangun tepat jam setengah enam. Itu sudah jadwalku. Pantas saja sekarang aku masih mengantuk. Aku bangun lima belas menit lebih awal.

Aku tersenyum sembari menarik selimut, lalu memejamkan mata. Tak lama, aku mendapati diriku sudah kembali ke padang rumput di mimpiku sebelumnya, menatap langit yang sama. Aku baru saja tersenyum lega, ketika sebuah suara di sebelahku, melenyapkan senyumku dengan cepat,

The Boy in My Dream (Cinta Tak Pernah Pergi) (Sudah Terbit di Cabaca)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang