Entah sudah berapa banyak langkah kaki ku melewati trotoar ini yang terasa tidak ada ujungnya. Melihat ke samping, hanya ada mobil yang berlalu lalang dengan kecepatan rata-rata. Bosan melihat itu, aku kembali menatap ke depan. Aku hanya menatapnya kosong sambil melangkahkan kaki ku yang sudah mulai lelah untuk melangkah. Sesekali melihat ke atas, memandang awan yang sudah mulai berubah warna menjadi orange gelap, ditambah angin sore mulai berhembus yang membuat rok pendek seragam ku sedikit tersibak.
Aku berhenti di sebuah cafe. Masuk kedalam dan membeli Cappucino, lalu keluar sambil menyesap Cappucino dan tak lupa, kakiku kembali melangkah. Aku benar-benar tidak punya tujuan. aku tidak tau harus kemana. Berfikir tentang tujuan ku saat ini membuat ku pusing. ‘slrupp’ aku bahkan tidak menyadari Cappucino yang ku genggam telah habis. Ku tolehkan kepalaku ke atas. Langit yang sudah berubah warna menjadi benar-benar gelap. Lampu-lampu juga sudah mulai dinyalakan.
Aku terus berjalan, hingga aku melihat tulisan “MIRACLE” sebuah Hotel dan Restaurant berbintang. Aku menaiki tangga darurat yang terletak di belakang gedung. Sepertinya keberuntungan memihak padaku, karena tidak ada penjaganya. Sesekali aku mengelap keringat di dahi ku. Ini baru lantai dua belas, berarti masih ada delapan lantai yang harus aku lewati untuk sampai ke atap gedung. Dengan titik darah penghabisan, akhirnya aku sampai ke atap gedung. Akhir memang tidak mengkhianati prosesnya. Kelelahan dan keringatku terbayar dengan pemandangan lampu-lampu yang terlihat dari atas gedung. Sungguh indah.
Lama aku memandangi pemandangan yang indah itu. Ditemani angin yang berhembus mengenai kulit membuatku merasa sedikit kedinginan. Entah kenapa suasana seperti ini membuat air mataku berdesakan ingin keluar. Sendiri ditempat yang sepi dan dingin. Aku benar-benar ingin menghilang. Hilang dari dunia ini.
***
Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Aku terlalu putus asa untuk terus tetap hidup. Bahkan aku sudah tidak punya alasan untuk hidup. Lantas, untuk apa aku hidup? Aku menaiki tangga pembatas di atas gedung megah ini. Jemariku memnggenggam pagar batas itu, layaknya adegan seseorang yang ingin bunuh diri di dalam film. Jemari ku menggenggam semakin erat pagar itu. Memejamkan mata sejenak untuk memantapkan diri pergi dari dunia ini. Entah keesokan harinya berita tentang diriku muncul di dalam berita, atau terbiarkan di jalan dengan darah segar yang mengalir. Seorang gadis SMA mati dengan cara yang mengenaskan. Sungguh ironis.
Aku melemaskan tubuhku dan membiarkannya jatuh. Memejamkan mata dan bersiap-siap pergi ke alam lain. “hei! Apa kau gila?!” seseorang laki-laki berteriak sambil menarik tubuhku ke tempat yang lebih aman. Perlahan aku membuka mata. “apa aku sudah mati?” tanyaku dengan bibir bergetar. “seharusnya kau bertanya ‘apakah aku masih hidup?’ daripada bertanya seperti apa yang kau ucapkan tadi!” balas seorang laki-laki tadi yang terlihat mengenakan setelan jas mahal dan rapi. “apa aku menjadi roh? Kenapa kau bisa melihat ku” tanyaku dengan setengah sadar. “apa kau bercanda? Apa kau tidak lihat? Kaki mu masih berpijak, tubuh mu juga tidak tembus pandang, jelas saja aku bisa melihat mu! Dan apa katamu? Kau menjadi roh? Hahhaa, kenyataannya kau masih menjadi manusia. Kau ini ada-ada saja” balasnya dengan sedikit terkekeh. “kenapa aku masih hidup?” tanyaku lagi yang masih belum sepenuhnya sadar. “itu karena aku menyelamatkan mu”. Aku mengernyit. “kenapa kau menyelamatkan ku?” Laki-laki itu menarik bibirnya tipis, memperlihatkan smirk smilenya. “asal kau tau, aku sudah lama berdiri disini untuk mencari udara segar. Aku menyelamatkan mu agar aku tidak dituduh sebagai orang yang melakukan pembunuhan, karena disini hanya ada kau dan aku. Dan ingat, aku menyelamatkan mu, hanya kerena aku tidak ingin masuk penjara!”
-
Aku memandang lampu-lampu yang indah dari atas gedung ini, serta bintang-bintang yang membentuk sebuah rasi. Ku tolehkan kepalaku dan melihat dia, laki-laki yang menggagalkan aksi bunuh diriku. Dia hanya melihat kebawah gedung dengan tatapan kosong. Aku kembali memandang bintang di langit dan sesekali menghela nafas. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku disini, dan sepertinya aku harus mencari tempat yang benar-benar tidak ada orang untuk menghilang dari dunia ini.
Aku melenggang pergi menuju tangga. “kau mau kemana?” tanyanya. Aku mencoba menghiraukannya dengan terus berjalan dan menuruni anak tangga yang pertama. “yak!, apa kau tidak berterimakasih pada orang yang telah menyelamatkan mu?”. Aku membalik tubuhku “aku tidak meminta pertolongan mu, jadi untuk apa aku berterimakasih padamu?” Aku kembali menuruni anak tangga.
***
Aku menoleh ke belakang dan ia masih tetap mengikuti ku. Ku hentikan langkah ku “kenapa kau mengikuti ku?” tanyaku dengan tetap membelakanginya, yang berada beberapa langkah dibelakang ku “kenapa kau terus berjalan, padahal ini sudah keempat kalinya kita mengelilingi taman ini” balasnya. Aku membalik tubuhku dan melihat sekeliling. Lima detik kemudian, aku baru menyadari jika aku berada di taman kota. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika aku terus mengelilingi taman ini.
“apa kau tidak punya tujuan? kenapa tidak pulang kerumah mu? Dimana rumahmu? Malam-malam begini, terlalu berbahaya untuk mu” tanyanya dengan melipat tangan di depan dadanya. “kau sendiri bangaimana? Kau terus mengikuti ku. kenapa kau mengikuti ku?” ia memasukkan tangan kedalam saku celananya, menundukkan kepala dan sesekali menghela nafas. “aku mengikutimu karena aku khawatir padamu” dengan suara beratnya, ia mengangkat kepalanya, dan melihat kearahku. Aku tercekat sekaligus mengeryit. Bagaimana mungkin seseorang yang belum ku kenal bisa mengkhawatirkan ku? bahkan orangtuaku saja tidak pernah mengkhawatirkan ku.
“kenapa kau mengkhawatirkan ku? bahkan kita belum saling mengenal” aku bertanya pelan, aku tidak tahu apakah ia mendengarnya atau tidak. Ia tidak menjawab. Ia melangkah mendekati ku. Jarak antara dirinya dan aku pun semakin menipis. Tepat di depan ku, ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Melihat manik mataku sambil membuka jasnya. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku “kau kedinginan” lalu mengalungkan jasnya di pundak ku. Aku membulatkan mataku kearahnya, menatapnya tidak percaya. Ia menggenggam bahuku lalu turun ke tanganku, menggenggam satu tanganku dan berlari, aku mengikutinya. Aku terlalu kelu untuk melepaskan tangan ku, dan terlalu terkejut untuk menolak. Karena memang tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa aku benar-benar kedinginan dengan mengenakan rok pendek diatas lutut dan seragam sekolah tanpa blazer.
-
Hujan turun dengan derasnya. Ia membawaku untuk berteduh. “dimana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang, agar kau sampai di rumah dengan selamat dan aku tidak mengkhawatirkanmu lagi”. Aku hanya menatapnya tanpa berkedip. Dengan tatapan seperti orang memohon. Oh, poor me. Ia menghela nafas dan melihat sekeliling hingga ia menemukan seseuatu, lalu “tutupi kepala mu dengan jas itu” aku masih menatapnya tanpa berkedip. “heuh? Kau ini kenapa?” ia memindahkan jasnya di atas kepalaku. Dan untuk yang kedua kalinya ia berlari sambil menggenggam tanganku. Berlari diantara hujan yang turun dengan derasnya. Aku mengikutinya kemana ia berlari dengan tetap menatapnya tanpa kedipan.
***
“Selamat malam, tuan” sapa wanita di meja receptionist “oh, anda basah? Apa anda kehujanan?” lanjut wanita itu lagi. Yang ditanya hanya mengeluarkan senyum tipis. “ah, apakah dia kekasih anda? Ah, benar sekali anda datang kesini. Disini kami menyediakan hotel dengan berbagai fasilitas yang menarik. Anda bisa melihat di katalog ini” ucapnya dengan menyodorkan buku katalog.
“kau ingin kamar yang mana?” tanyanya padaku dengan suara beratnya. “kenapa kau membawa ku kesini?” aku balik bertanya padanya. “memangnya kau ingin tidur di jalanan? Saat ku tanya dimana rumahmu, kau tidak menjawab dan kau hanya menatap ku” balasnya sambil mengaitkan tanganya di pinggangnya. Kembali aku menatapnya tanpa berkedip. Aku tidak tau harus apa, jadi aku memilih untuk menatapnya dalam. “lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan seperti itu” lalu ia memutar bola matanya malas ke arah wanita receptionist tadi. Aku melihat-lihat sekitar dan mataku terbelalak saat melihat jam besar di dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari. Pantas saja jika hotel ini sepi.
“aku pesan dua kamar ini yang bersebelahan” ucapnya. “dua? Dua kamar? Ken...” ucapan wanita receptionist tadi terpotong karena si pemesan kamar telah mengatakan ‘TIDAK’ dengan penuh penekanan, dan ia mengeluarkan blackcard dan memberikannya pada wanita receptionist itu. “baiklah” ucap wanita receptionist itu dan memberikan blackcrdnya sekaligus memberikan card kamar hotelnya. “terimakasih” ucap wanita receptionist itu lagi sambil mengembangkan senyuman.
“ini” ia memberikan card hotel nomor 222 padaku. “ayo, jika tidak kau akan terkena flu, lihat! tubuhmu sudah basah kuyup” Ia menyadarkan lamunanku dan aku bergegas mengikuti di belakangnya. Kamar mu, ada disebelah kamarku, jika ada apa-apa kau bisa mengetuk pintu kamar ku atau menghubungi pelayanan hotel” ucapnya sambil keluar dari lift. Ia membuka pintu kamar 221 dan menutupnya begitu saja. Sedetik kemudian aku baru tersadar dan bergegas membuka pintu kamar 222.
Sebernarnya siapa dia? Kenapa di peduli padaku? Arghh! Aku histeris di dalam kamar hotel sambil mengeringkan rambut. ‘toktoktok’ aku menatap horor ke arah pintu kamar hotel. Aku membuka pintu perlahan “ganti seragam basah mu dengan ini” ucapnya lalu menyodorkan sesuatu yang isinya tidak ku ketahui, dan kemudian ia kembali ke kamarnya.
-
“Apa kau sudah tidur?” ia kembali mengetok pintu kamar. Aku bangun dari kasur dan membuka pintu. “ah, sepertinya baju yang kuberikan sangat cocok untukmu” Ia menatapku dari ujung ke ujung. ‘kriukkk’ aku menggigit bibir bawah dan mengerutkan dahi ku menahan rasa malu. “sepertinya kau lapar, kau harus makan” ucapnya lalu mengisyaratkan agar aku mengikutinya.
***
“kau itu sebenanya siapa?” ia membuka mulut setelah menghabiskan makanannya dengan canggung dan sekarang ia mulai menyicipi desertnya. “seharusnya aku yang bertanya padamu! Kau itu siapa?” balasku setelah menelan potongan buah Melon. “yang pantas bertanya seperti itu adalah aku, bagaimana kau bisa sampai ke atas gedung, padahal dibawah ada penjaganya” balasnya sambil menatapku intens. Aku mengeryit. “ memangnya apa pedulimu? Bukankah kau juga berada disana?” ucapku lalu meneguk air. “itu karena bisa saja kau adalah orang jahat yang akan berbuat macam-macam di hotel milik ayahku”. Aku tercekat. Jadi ia adalah anak dari konglomerat yang memiliki Hotel Miracle? Ah, bagaimana mungkin orang seperti dia bisa mengkawatirkan dan memperdulikan orang seperti ku? ini bukanlah drama romance, layaknya anak dari keluarga bangsawan jatuh cinta dengan seorang gadis kelas rendahan yang berakhir dengan bahagia. Bukan. Hidupku mungkin tak digariskan seperti itu.
“ah, mari berjabat tangan, kita belum berkenalan” ucap lelaki tinggi itu, ia mengulurkan tangan kananya pada ku. Aku masih tidak bergeming, hingga akhirnya ia mengisyaratkan agar aku menyambut jabatan tangannya. “aku...“
[To Be Continued] *Thanks for Reading! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
PINKY PROMISE
FanfictionKetika jari kelingking telah dikaitkan, maka terciptalah sebuah janji. Janji yang harus di tepati dan tidak boleh diingkari. Sebuah janji yang mengikat dua orang untuk saling mencintai. Namun, bagaimana jika salah satunya melupakan janjinya?