I. Pemuda di kereta

18 3 0
                                    

Suara gaduh terus memekak telinga; ramainya pedagang ber-gerobak juga suara bising laju kereta cukup membuatku agak risih. Panasnya terik matahari terus menimpa-ku, membuat gerakan kesekian kali-nya---mengusap keringat.

Saat kereta milikku datang, langkah ini dengan segera mengarah. Butuh beberapa menit untuk mencari nomor tempat duduk, sampai akhirnya aku menemukannya sendiri. Setelah duduk dan mencari posisi nyaman, headseat yang sedari tadi sempat ku abaikan berfungsi kembali. Lagu Adele mengiringi sepanjang jalan.

Kota Bandung, ah, rasanya rindu sekali dengan kota dengan seribu julukan indah itu. Hiruk-pikuk keadaan Jakarta membuatku muak, terlalu ramai juga bising. Akhirnya, tempat pemotretan dialih kan ke Bandung yang secara tidak langsung membebaskan diriku dari kota itu.

Lagu Rolling in the Deep dari Adele terus mengalun, sementara kereta ini sempat berhenti di satu stasiun. Kulihat cukup banyak orang yang menyerobot masukdi stasiun ini, wah, mungkin arah tujuan mereka sama denganku. 

Mataku tak henti menatap para penumpang yang silih berganti naik dan turun kereta, sedetik kemudian kereta melaju lagi menuju stasiun selanjutnya. Tujuanku masih jauh, mungkin melewati sekitar dua stasiun lagi.

"Eh," 

Terkejut. Mengetahui seorang pemuda yang secara tiba duduk tepat di sebelahku dengan pakaian yang agak aneh, "Jas dengan celana robek fashion... Yang bener aja." Gumamku sedikit sarkas.

Oke, oke, mari kita sebut itu fashion. Tapi penampilan dan perilakunya saat ini terlalu aneh untuk hanya disebut sebagai orang normal. 

"Sampurasun, teh!" Serunya kemudian sambil tersenyum. Ah, aku terlalu memerhatikannya, mungkin dia sadar.

"Eh, iya, sampurasun juga a." Balasku akhirnya. 

Aduh, Arum, Arum. Lupakan saja, jangan terlalu negatif mungkin memang mode hidupnya seperti itu. Ayo lupakan tentang kaki-nya.

Waktu berjalan begitu cepat, dua stasiun sudah terlewat itu tandanya pemberhentian kalo ini adalah tujuanku. Saat laju kereta sudah mulai melambat, aku bangkit dari duduk, mengambil barang dengan agak buru karena sebelumnya tidak bersiap.

'Pluk.'

"Apaan yang jatuh?" Ucapku reflek. Aku memeriksa keaadan sekeliling, memandang baik-baik kebawah mencari barang yang jatuh. Tidak ada apa-apa. 

Pada akhirnya barang bawaanlah yang diperiksa, takut tidak lengkap. Namun, toh, hasilnya nihil juga. Sama sekali tidak mengingat barang apa saja yang aku bawa selain dokumen-dokumen?

"Teh, ini yang tadi jatuh." Pemuda itu memberikan keresek kecil berwarna biru.

Dengan segera aku menerimanya, "Nuhun ya a, makasih banget. Duluan ya, udah mau maju lagi keretanya. Assalamualaikum." 

Setelah berpamitan, dengan cepat aku melangkah keluar. Huh, agak repot juga membawa banyak barang seperti ini sendirian. Detik setelah turun, kereta langsung melajukan lagi rodanya. 

"Abraham, jemput kakak ya sekarang di stasiun. Pakai mobil, soalnya bawa banyak barang nih." Ucapku dalam panggilan telephone.

"Iya, iya. Tungguin aja disana. Tapi jangan lupa oleh-oleh ya kak, hehe." 

"Gampang, gampang." Telepon terputus.

"Eh, sejak kapan aku bawa perban sama stestoskop?" 

Keresek biru itu....isinya beberapa bungkus perban kecil dan sebuah stestoskop.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita duaminggu ini.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang