21.

57.8K 4.2K 39
                                    

Harusnya aku sudah tidur dari tadi. Namun aku malah berbaring sambil menatap langit kamar yang gelap. Memikirkan apa yang terjadi tadi siang.

Keke menangis. Keke memohon. Agar aku meninggalkan Rangga.

Aku selalu mencoba untuk membayangkan jika Rangga dan aku putus. Namun akhirnya itu membuatku menangis tersedu-sedu. Aku takut membayangkan itu.

Jadi... aku harus bagaimana?

Memikirkan itu membuat otakku rasanya mau pecah. Aku mencoba untuk tidur namun ponselku berbunyi.

Incoming call
Wisnu

Tanpa pikir panjang karena aku sedang malas berpikir, aku mengangkat panggilannya. "Halo?"

"Sori ganggu, Dy. Tapi lo belum tidur atau kebangun atau gimana?" Aku mengerutkan kening mendengar suara Wisnu yang... eh... bersemangat. Kenapa dia bersemangat di jam sebelas malam?

"Belum tidur. Kenapa, Nu?" tanyaku penasaran.

Dia malah tertawa cengengesan. "Kan kayak janji lo waktu itu, kalau gue udah kasih judul lagu yang cocok buat lo. Kan janjinya gue dapat reward yang boleh gue request. Bener?"

"Iya...." Sumpah aku penasaran. Kenapa Wisnu bersemangat sekali berbicara sekarang? Dan kenapa malah membahas tentang reward yang aku janjikan?

"Gue mau lo percaya sama gue, oke?"

Tunggu. Apa maksud Wisnu bertanya seperti itu? Aku sudah terduduk di tempat tidur. "Wisnu, lo jangan nakut-nakutin gue, ya."

"Hah? Nakut-nakutin lo? Hahaha," tawa Wisnu memenuhi panggilan. "Enggak. Sumpah demi apa pun. Pokoknya lo percaya aja sama gue, gue gak bakal ngelakuin hal-hal aneh. Oke?"

"Wisnu, lo mau apa sih?"

"Maudy, percaya aja sama gue. Oke?"

Aku menghela napas. Tak ada gunanya berdebat untuk bertanya kenapa. "Oke."

Terdengar helaan napas di sana. Terdengar seperti ada kelegaan. Lega? Masa?

"Gue mau culik lo bentar. Boleh?"

Eh? Aku terperanjat. Culik? Menculikku? Aku tertawa, walau terdengar seperti tawa palsu. "Wisnu, memangnya penculik ada yang minta izin buat nyulik?"

Wisnu ikut tertawa. "Ya kan gue mau jadi penculik punya adab dan attitude. Hehe."

Oke. Wisnu makin ngaco. "Wisnu, lo mau apa sih? Serius deh."

"Iya iya. Gue serius nih sekarang. Gue mau nyulik lo malam ini. Bentaran aja. Boleh?" tanya Wisnu dengan nada datar yang biasanya serius.

"Wisnu." Aku masih bingung dengan tujuan Wisnu meneleponku.

"Maudy.... Gue serius."

Aku menarik napas panjang. "Oke. Gue ikut-ikut aja. Tapi enggak aneh-aneh kan?"

"Enggak. Serius, enggak aneh-aneh. Seriburius." Wisnu meyakinkanku.

Aku menatap pintu kamar balkonku. "Iya deh."

"Sip. Sekarang lo siap-siap, ya. Gue tunggu. Entar kalau udah siap, lo buka tirai pintu balkon."

Hah? Belum aku menyahutnya, Wisnu malah memutuskan panggilan. Aku termenung sebentar sambil menatap layar ponselku yang mati. Akhirnya aku memutuskan untuk bersiap-siap.

Kucari jaket ungu kesayanganku di lemari. Lalu aku baru ingat jika jaket itu kupinjamkan pada Rasti saat dia hendak pulang dari rumahku dengan motor dan saat itu hujan. Jaket biru tuaku dipinjam Lintar dan sekarang tak mungkin aku mengendap-endap masuk ke kamarnya.

JealousyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang