"Dapat!" bisik Reza di dekat Lisa. Dengan satu tangan yang masih sibuk dengan ponsel pintarnya, ia buru-buru mengganti sandal japitnya dengan sepatu setelah dari musola.
"Apa?" tanya Lisa.
"Itu benar."
"Apanya? Apa kita masih membicarakan papamu?" bisik Lisa walaupun semua teman sepantaran masih di luar ruangan.
"Ya. Coba kamu lihat," Reza menyorongkan ponselnya ke atas keyboard laptop Lisa.
Terlihat gambar papa Reza merangkul mesra seorang gadis yang berpenampilan 'berani'. Dress merah sepaha, lipstik cerah menggoda dengan riasan tebal di area mata.
"Geser ke kanan," perintah Reza.
.
Liza menggeser layar ponsel Reza menggunakan telunjuk. Ada foto papanya dengan perempuan lain, dengan penampilan yang tak kalah beraninya.
"Apa-apaan ini?!" tanya Lisa, tak percaya dengan yang dilihatnya.
"Masih banyak yang lainnya," jawab Reza gusar sambil menggeser sendiri layar ponselnya di depan Lisa.
.
Lisa menutup mulutnya, dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Prihatin, tapi banyak pertanyaan ada di kepalanya. Sejak dua minggu yang lalu Reza curiga papanya selingkuh. Kemudian ia mencari segala informasi papanya tanpa bertanya langsung. Tentu saja ia tidak bisa melakukan semua sendirian, butuh setidaknya satu orang untuk dicurhati selain teman-teman yang membantu operasinya. Dan orang itu adalah Lisa, teman satu komunitasnya. Dia dan Lisa sudah akrab sejak setahun yang lalu, ketika sama-sama bergabung ke dalam komunitas blogger di kampus itu. Bahkan teman-teman sekomunitas sering menduga kalau mereka ini berpacaran. Padahal yang sebenarnya adalah Reza kepincut dengan Elvi, teman sekelas Lisa.
.
"Kamu dapet dari mana foto itu, Za?" tanya Lisa.
"Dari temenku. Dia sekarang magang di pemerintahan."
"Terus kamu percaya? Kalo itu cuma photoshop gimana?"
.
Reza melotot, "dia nggak mungkin bohong, Lis. Kita udah temenan sejak SD!" Walaupun begitu Reza tetap menyerobot laptop Lisa, menyalakan bluetooth, dan bersiap mengirim gambar dari ponsel. Setelah gambar sampai, Reza membuka program photoshop, mengedit intensitas warnanya, dan membesarkan tampilan foto.
.
"Lihat kan? Nggak ada editan di sini? Lagipula yang pake baju merah ada 4 foto dari berbagai sisi, nggak mungkin ini editan."
"Za ... kalo emang foto itu bener. Aku ... aku nggak tau musti gimana ..." perkataan Lisa menggantung.
"Sebenernya aku juga masih kurang yakin, sih. Kalo kata temenku, bisa jadi dia cari perempuan lain untuk sekedar curhat. Karena mamahku itu suka ngebentak-bentak kalo ngomong sama Papa. Bahkan ia bilang, jangan-jangan dia begitu karena untuk netralisir supaya rumah tangganya tetep utuh?" kata Reza lirih. "Tapi itu nggak mungkin kan? Lis ... kira-kira kamu mau nggak bantuin aku?"
"Kalo bisa pasti aku bantu," kata Lisa mantap.
"Bener? Janji?"
"Janji," jawab Lisa yang masih sama mantapnya.
Reza menarik nafas sejenak.
"Jadi, aku punya kontak salah satu rumah bordil yang sering jadi langganan papaku ..." kentara ekali Reza dengan berat hati menyebut kata 'papa', "... dan aku pengen kamu pura-pura jadi salah satu ..."
"Tunggu," Lisa memotong. "Kenapa kamu nggak minta tolong Elvi?"
"Dia sekarang sibuk banget. Ada acara 4 hari sama organisasinya di Bandung. Lagi pula aku juga takut jangan-jangan Elvi pernah ketemu papaku waktu dia ke kosanku. Kan dia suka ke kosanku mendadak?"