"Perjuangan, kegagalan, dan keberhasilan adalah satu paket yang tidak bisa di beli secara terpisah -JEP-."
Carolyne, itulah nama yang di sematkan kedua orang tuaku. 18 tahun yang lalu aku di lahirkan di sebuah kota sejuta pesona Mojang Parahyangan. Kota yang penuh dengan sejarah Belanda dalam menjajaki gudang persenjataan yang di bumi hanguskan, Kota Bandung. Inilah kisahku, kisah yang selama ini terkunci diantara para bisu, kota bisu, bisu, tuli, dan buta beberapa tahun yang lalu.
Pagi itu, angin berbisik begitu merdu sayup di telingaku. Burung berkicau menyanyikan senandung rindu diantara dedaunan yang saling menyapa satu dengan yang lainnya. Sembari menatap indahnya biru langit, sambil menyaksikan kumbang - kumbang berayun dari satu daun ke daun lainnya.
Perasaan seorang diri seringkali menggelayut dalam relung jiwaku. Bagaimana tidak, sejak kecil aku sudah terbiasa melakukan segala sesuatu seorang diri. Ayah tidak pernah tinggal bersamaku, 15 tahun lebih kulewati tanpa sosok ayah dalam keseharianku. Ibuku bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga yang seringkali menelan caci maki dari si tua bangka bermata empat dan berkaki tiga. Seringkali bathinku merintih menyaksikan itu semua. Kadang ingin ku lontarkan kembali semua cacian tersebut. Namun, apalah dayaku, aku sadar diri bahwa aku tidak ada apa-apanya. Luka dalam bathinku berubah menjadi bongkahan kebencian yang mengkristal. Dendam kepada Para lintah darat yang sering memberi bunga yang diluar Sewajarny Ketika ibu meminjam uang untuk keperluan sekolah adik. Sering kudapati ibu menangis, merintih dalam sepi. Sempat sayup ku dengar ketika ku tertidur di pangkuannya, ibu berkata " nak, kalau kamu sudah besar, kamu harus jadi orang sukses ya, gak susah kayak ibumu ini, ibu akan selalu doakan kamu." Bhatinku menangis dan menjerit, kadang ku bertanya kepada Sang Khalik, pencipta Alam semesta dan seisinya, mengapa ia menakdirkan kami harus hidup seperti ini. Sejak saat itulah aku memutuskan untuk menjadi orang sukses dan mapan untuk membeli semua mulut-mulut kaum fana tersebut.
Aku terus belajar dengan sungguh - sungguh. Aku bertumbuh menjadi pribadi yang dingin. Aku menganggap bahwa aku bisa mendapatkan kebahagiaan dengan selalu menjadi yang terdepan. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk membaca buku pelajaran ketimbang bermain. Aku memilih mengikuti banyak lomba dan memenangkannya untuk mendapatkan rasa hormat, penghargaan terhadap diri sendiri, uang, dan predikat juara. Di sela-sela tersebut , aku berjualan untuk membantu Ibu mencari nafkah untuk sekedar uang tambahan jajan. Tapi, nyatanya hanya rasa sepi, hampa, rasa sakit, dan kecewa dan sendirilah yang aku dapatkan. Aku tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan jerit tangis lirih. Tak jarang rotan dan besi mendarat di sekujur tubuhku yang selalu saja di jadikan pelampiasan ketidakpuasan kakak tiriku atas kondisi hidup keluargaku. Aku tak kuat, aku ingin mengakhiri semuanya. Aku bagai hidup tak mau, matipun tak segan. Serba salah. Satu-satunya alasan ku bertahan atas kondisi ini adalah ibu, ibu yang 18 jam dari 24 jam membanting tulang demi menafkahi kami. Bukan berarti ayah tidak bertanggung jawab, tetapi uang yang ayah berikan tidak pernah cukup untuk kami.
Aku tidak tahu kemana masa depan akan membawaku, yang aku tahu saat ini adalah terus berjuang untuk memenangkan kehidupan dan menjadikan kehidupanku di masa mendatang jauh lebih baik , dan inilah kisahku.
YOU ARE READING
Sejuta Mimpi Di Negeri Apel
Non-FictionSejuta Mimpi di Negeri Apel. Sebuah kisah nyata dari seorang gadis belia yang kini masih terus berjuang dalam menggapai segala impiannya. Luka, dendam masa lalu, kisah cinta, serta peliknya lika liku proses kehidupan akan turut mewarnai kisahnya...