Lukisanku

21 4 0
                                    

Tuninuninuninuninuninuni—
Suara itu terus terngiang di telingaku, begitu pelan seperti nyanyian pengantar tidur.

‘Kakak bertahanlah!’ siapa itu? Aku membuka mataku yang terasa sangat berat, tapi mata ini terasa seperti merekat dan sangat susah untuk dibuka namun saat aku bisa membuka mataku pandanganku mengabur. Hm? Ada apa? Kenapa pandanganku buram?

‘Kakak,’ kepalaku pusing, seolah berputar-putar. DEG— aku terlonjak seperti memuntahkan sesuatu dan seketika semuanya gelap gulita, pandangan duniaku menghitam, aku tak mengingat apapun setelahnya.

***

Titt! Titt! Titt!
Ah.

Kugerakkan sedikit kepalaku dengan pelan, rasanya lemas sekali. Ah, perlahan aku membuka mataku. Dan saat itu juga aku baru menyadari sesuatu. Kenapa aku berada di rumah sakit? Kugerakkan lagi bahuku namun rasa sakit tiba-tiba menjalar begitu saja. Perih  yang sangat menyakitkan.

“Ugh-” aku meringis kesakitan. Pandanganku belum bisa terlalu fokus, masih memburam.

“Kakak?” kemudian aku mendengar langkah kaki yang mendekat. Dengan pelan aku mencoba melihat sosok di hadapanku.

“Akhirnya kak Dicky bangun juga,” ucap gadis itu dengan senyum lebar, di tangannya ia sedang memegang kantung plastik hitam.

“Ada apa? Kenapa aku gak ingat apa-apa?” aku mencengkram rambutku yang terasa sedikit panjang.

“Nanti juga ingat kok,” dari arah pintu masuklah seorang suster dan seorang Pria dengan jas putih beserta stetoskopnya yang menggelantung di leher.

“Kamu hanya mengalami amnesia sementara akibat benturan keras di kepalamu,” kemudian pria itu mencatat sesuatu di clipboard yang langsung ia berikan ke suster di sebelahnya.

“Kakak pasti lapar, aku tadi beli roti selai dan bubur,” aku tersenyum sekilas pada gadis kecil yang kini sedang membuka kantong plastik yang ia bawa tadi.

“Sepertinya kakimu mengalami cedera ringan, tapi tidak apa ... dengan terapi sekitar tiga minggu sampai satu bulan, pasti akan membuat kakimu kembali normal.”

Aku mengernyit mendengar kata-kata sang Dokter. “K-kaki?”

“Iya, kaki kakak terlindas saat itu, syukurnya nggak sampai merusak tulang betisnya, makanya hanya cedera.” gadis itu tersenyum lagi dan mulai menodongku dengan sendok berisi bubur. Ya, mau tak mau aku harus memakannya. Tunggu sebentar. Seketika mataku melebar dengan keterkejutan. Aku lupa nama adikku sendiri.

“Eh? Kakak kenapa?” gadis yang aku yakini adalah adikku ini bertanya saat melihat ekspresi panikku. Astaga, apa sekeras itukah kecelakaan yang kualami sampai-sampai aku mengalami hilang ingatan? Tapi bagaimana bisa aku tak mengingat namanya tapi tahu bahwa ia adalah adikku?

“Kakak?”

Aku terlonjak, “Ah, ya?”

“Kakak gak apa-apa kan?”

“Eung, anu ... aku hanya lupa.”

“Lupa apa?”

“Nama. Namamu siapa?” dan saat itu juga gadis itu tertawa lepas. Seolah pertanyaanku adalah lelucon yang sangat lucu.

“Kakak ini gimana sih, gak ingat nama adiknya, haha-”

“Memangnya berapa hari aku dirawat di sini?” aku menatap gadis itu dengan cemberut.

“Bukan hari, tapi lima bulan, dan namaku Alita, adikmu yang tersayang. Apa jangan-jangan kakak juga lupa bahwa kakak ini anaknya siapa?”

Aku hanya menatap gadis bernama Alita alias adikku ini dengan tatapan tak percaya, “Ah, ya ... sepertinya begitu.” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Tapi ini benar. Aku lupa. Lupa dengan semuanya. Kecuali satu. Aku adalah seorang pelukis. Ya, benar ... aku ingat bahwa aku adalah pelukis.

Kunci-CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang