Chap 7 : Jangan tinggalkanku

266 9 3
                                    

Ucapan papa Grein yang menyinggung kedua orang tuaku masih terus berkeliaran dalam kepalaku. Musuh? Aku tidak menyangka jika mereka akan memiliki musuh. Tapi dari sikap papa Grein pasti hubungan mereka benar-benar sangat buruk. Aku terus memikirkannya, sampai aku tidak sadar bahwa kami pergi ke sebuah taman.

Kami duduk di sebuah bangku taman yang menghadap ke sebuah danau yang dipenuhi oleh anak-anak yang tampak sangat riang memainkan bebek-bebek. Terdengar hembusan nafas berat Grein, ya aku yakin passti dia juga memikirkan hal yang sama denganku.

"maaf karena ayahku mengatakan hal yang tidak pantas untukmu" ujarnya tetap dengan suara dinginnya.

"tidak apa-apa kok. Wajar jika seorang ayah melakukan hal itu" ujarku.

"bagiku itu tidak wajar" ujar Grein ketus.

"dia selalu memaksakan keinginannya namun tidak mempedulikanku. Seperti ini bukan? Ia sama sekali tidak peduli dengan perasaanku, ia mengeluarkan kata-kata kasar pada tamuku, pacarku sendiri"

"aku tidak pernah ingin menjadi anaknya" ujarnya lagi menahan emosi dengan mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Aku yang melihat itu segera meraih tangannya dan menggenggamnya lembut. Aku tahu mungkin dia tidak menyukai tindakanku ini tapi inilah yang bisa ku berikan saat dia mengalami kesulitan. Sebuah dukungan. Walaupun aku sendiri masih tidak bisa menerima kenyataan yang baru ku alami. Kini aku sadar, kisah cinta kami sangatlah rumit. Aku harus berjuang lebih lama lagi. Saat aku sudah bisa mendapat hati Grein, skarang aku juga harus bisa mendapatkan hati ayahnya dan tentunya orang tuaku kembali. Saat ini aku masih tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi orang tuaku tentang kejadian ini.

Perlahan-lahan Grein mulai mengatur nafasnya yang terburu-buru tersulut dengan emosi. Grein ikut meletakkan tangannya di atas tanganku, kini kami saling menggenggam satu sama lain. Grein menatapku intens, tatapan yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Bukan tatapan dingin, namun tatapan penuh khawatir dan cinta yang padu.

"Apapun yang terjadi tetaplah disisiku" ujarnya meminta.

"Kita sama-sama berjuang ya" ujarnya kembali meyakinkanku.

Aku mengangguk haru, hari ini aku melihat sisi lain seorang Grein. Sisi yang sangat ku inginkan. Perlahan air mataku jatuh juga.

"Kenapa nangis?" tanyanya dengan nada khasnya.

"Kenapa cinta kita rumit ya?" tanyaku.

"serumit apapun itu, berjanjilah untuk tetap bertahan di sisiku" ujarnya menyandarkan kepalaku di bahunya.

Seandainya boleh meminta, aku ingin waktu ini terus terulang. Dimana Grein sangat hangat padaku dan penuh cinta. Kami menghabiskan waktu cukup lama disini, sekitar jam 6 Grein baru mengantarku ke rumah. Orang tuaku sama sekali tidak mempertanyakan mengapa aku lambat pulang ke rumah saat melihat Grein bersamaku. Hal itu membuatku merasa sesak, pastilah orang tuaku akan kecewa mengetahui kejadian ini. Padahal mereka sudah sangat menyukai Grein.

Seusai makan malam, Grein segera berpamitan pada orang tuaku. Sebenarnya saat mengantarku Grein akan langsung kembali. Namun karena mamaku ngotot agar Grein ikut makan malam dengan kami, alhasil ia menuruti permintaan mama. Aku mengantar Grein ke depan. Hingga ia benar-benar menghilang di balik pagar rumah, aku masuk kedalam.

Aku membantu mama untuk beres-beres di dapur. Saat mengambil sebuah gelas di meja, tidak sengaja aku menjatuhkannya. Jantungku tiba-tiba berdenyut lebih cepat, seperti sesuatu memburuku.

"Yosi kamu kenapa?" tanya mama saat melihat gelas pecah di lantai.

"aku tidak tahu ma kenapa gelassnya tiba-tiba jatuh gini" jawabku.

"Dan ma, aku kok kayak panik begini? Apa Grein baik-baik saja?" tanyaku takut.

"ah kamu itu. Grein masih dalam perjalanana pikiranmu udah nggak karuan gitu. nggak baik loh" ujar mama.

"itu mungkin karena kamunya aja yang megang gelasnya nggak benar. Makanya kalau kerja pikirannya jangan kemana-mana" uajr mama lagi.

Aku hanya menghembuskan nafas berat dan mengambil sapu untuk membereskan pecahan beling. Aku berusaha menenangkan hatiku yang masih tidak tenang. Pikiranku massih terfokus pada Grein.

***

"Ken, nanti kalau ketemu Grein tanya ya kalau kami nggak bisa makan siang bareng. Aku ada tugas kelompok yang mau dikerjain di library" ujarku pada Ken saat keluar dari mobil.

"tanya aja sendiri" ujarnya.

"Ken!!" ujarku manja.

"ia kembar" ujarnya ikut keluar dari mobil.

Aku segera berjalan meninggalkannya di parkiran dan berjalan dengan teeman kelasku yang kebetulan lewat. Aku mencoba memperhatikan parkiran, namun sama sekali aku tidak mendapati motor Grein. Perasaan khawatir itu masih ada dalam hatiku. Aku segera memasuki kelas yang sedang gaduh. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Tanpa mempedulikannya aku menuju tempat dudukku dengan Lidya. Sepertinya Lidya juga tidak tertarik dengan obrolan mereka buktinya ia kini sibuk dengan ponselnya.

"Mereka ngomongin apaaan sih?" tanyaku pada Lidya.

"Oh itu. Kemarin malam ada siswa sekolah kita yang kecelakaan" ujar Lidya.

"Oh" balasku seadanya, selagi itu bukan dari kelasku untuk apa aku kepo?

Aku sibuk mempersiapkan buku pelajaran hari ini sebelum Dian datang menggangguku.

"Kei, kembarmu di kelas Ipa1 kan?" tanyanya.

"hm" anggukku.

"jadi dia sekelas dong sama siswa yang kecelakaan itu. Bisa nggak kamu tanyain ke dia" ujarnya.

"hm nanti kalau aku ingat ya" ujarku masih sibuk dengan bukuku.

"ok" ujarnya dan pergi meninggalkanku.

Tiba-tiba aku menghentikan aktivitasku, barusan Dian ngomong kalau siswa yang kecelakaan sekelas dengan Ken? Artinya sekelas juga dengan Grein dong? Jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang, rasa khawatir itu muncul bahkan semakin besar dalam dadaku. Tanpa aba-aba aku segera berlari keluar kelas menuju kelas Ken.

Kelas mereka sudah dalam keadaan siap belajar walaupun jam pelajaran sudah dimulai. Aku berdiri di dekat pintu memperhatikan ke dalam. Mereka semua melihat ke arahku, aku mencari sosok Grein namun sama sekali tidak ku temui. Tiba-tiba Ken keluar menemuiku.

"Ken aku mohon jangan katakan, jangan katakan bahwa Grein siswa itu" lirihku.

"dia pasti baik-baik saja" ujar Ken.

Seketika langit runtuh menimpaku mendengar ucapak Ken, jadi benar? Grein siswa yang kecelakaan itu? Jadi ini jawaban untuk rasa khawatirku? Untuk perasaanku yang dari kemarin tidak tenang? Tenagaku seakan-akan hilang, untuk berdiri saja rasanya aku tidak kuat. Aku menahan tubuhku di tembok. Melihat itu, Ken segera memelukku erat.

Aku menangis meraung-raung dalam pelukannya. Grein jangan biarkan aku berjuang sendirian? Bukannya kemarin kamu katakan kita berjuang sama-sama? Kenapa sekarang kamu malah sakit? Kenapa skarang kamu yang pergi dari sisiku?

"Kei kamu kenapa?" aku masih bisa mendengar suara khawatir Lidya yang mendekat.

Aku bisa merasakan kepala Ken yang menggeleng-geleng. Mereka berdua akhirnya membawaku ke UKS untuk beristirahat.

"Kamu yang sabar. Nanti kita ke rumah sakit buat jenguk dia" uajr Ken sebelum pergi meeninggalkanku dengan Lidya.

Lidya segera memelukku. Aku yakin ia pasti juga merasakan sakitku.

"Masih ada aku Kei yang akan menemanimu di saat-saat sulitmu ini" ujarnya memberiku semangat.

"Grein itu kuat kok. Ia pasti akan cepat pulih" ujarnya lagi.

Aku MataharimuWhere stories live. Discover now