Hanif berjalan dengan tergesa-gesa. Langkahnya mantap menuju kamar wardrobe mempelai pria. Dengan nafasnya yang memburu, pikirannya hanya satu yaitu membunuh sahabatnya, Bastian.
Ketika sampai di tempat yang ia tuju. Pintu kamar terbuka. Tak ada suara siapapun. Namun, hanya ada seorang pria yang duduk tak berdaya di depan cermin. Sinar lampu menyinari wajahnya. Tatapan Bastian hanya terpaku pada cermin dengan pandangan kosong.
Dengan hati yang menggebu, Hanif berteriak "DASAR PRIA BRENGSEK!!"
Bastian menoleh dan menatap Hanif dengan tatapan bingung, lalu berkata "Maksud lo apaan, Nif?"
Hanif menarik kerah kemeja Bastian "Jangan pura-pura bego deh lo! Lo apain adek gue sampe kayak gitu, huh?"
"Gue ngapain adek lo? Sumpah Nif gue gak ngerti.. Davina kenapa, Nif?" Bastian kini mengguncang bahu Hanif. Ia sama sekali tak mengerti dengan perkataan Hanif yang telah menuduhnya sebagai pria brengsek.
"Gak usah sok peduli.." Hanif mendorong tubuh Bastian hingga tersungkur ke belakang. Tangannya terus mengepal. Membuat ujung kukunya memutih. Dadanya naik turun. Ingin rasanya ia memukul wajah sahabatnya itu, namun yang anehnya tak dapat ia lakukan.
"Davina kenapa, Nif?" Bastian mencoba bertanya.
"Davina koma.... Ia mencoba untuk bunuh diri. Dan lo alasannya! sialan..."
Bastian tampak terkejut mendengar perkataan Hanif barusan. Rasanya bibirnya kelu untuk berbicara. Davina yang ia kenal tak seperti itu. Gadis itu memiliki pikiran yang panjang. Davina yang sudah ia anggap sebagai adik itu kini berbaring di rumah sakit. Dan masalah ini gara-gara dia?
YOU ARE READING
A Thousand Miles
Teen FictionSudah sepuluh tahun Bastian meninggalkan Indonesia demi tuntutan pendidikan dan pekerjaan. Kini ia bisa kembali pulang ke rumahnya dan bertemu teman lama. Keluarga Alghifari yang tak akan ia lupa. Hanif dan Davina. Kakak adik yang menjadi sahabatny...