LANGIT

343 10 10
                                    

Hari ini disudut ruang kelas seperti biasa aku bisa melihatnya, tertawa bersama teman-temannya. Tawanya terdengar sangat manis di telingaku membuatku harus menahan nafas untuk beberapa saat. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang istimewa dari tawanya? Satu jawaban untuk itu adalah karena tawanya telah membuatku jatuh cinta. Huh, jatuh cinta?

Di sudut salah satu relung hatiku menertawakanku, mengolokku. Jatuh cinta, huh? Kenapa aku harus jatuh cinta dengan dia, sih? Cowok yang jelas-jelas tidak pantas untukku. Maksudku, dia itu terlalu baik untukku. Baiklah, mungkin kata terlalu baik tidak terlalu keren. Ah ya, dia yang nyaris sempurna atau bahkan untukku dia terlihat sempurna.

Tawanya.
Senyumannya.
Bagaimana ia berbicara.
Tingkahnya.
Kekonyolannya.

Aku mendengus pelan, seharusnya aku tahu jatuh cinta padanya adalah sebuah keputusan yang amat salah. Namun perasaan mana bisa dicegah begitu saja, bukan? Perasaan manusia akan mengalir sendirinya begitu saja tanpa dirasakan sampai ia sadar kalau ia benar-benar telah jatuh cinta.

Lamunanku terhenti lagi, dan lagi-lagi aku menoleh kearahnya. Tawanya menggema di kelas, sekarang yang aku lakukan hanyalah menggenggam erat-erat puplen yang tengah aku gunakan untuk mencatat materi dari papan tulis. Berusaha mengontrol mimik di wajahku sebisa mungkin. Entah sudah berapa lama aku terpaku, melihat wajahnya yang tampan dari sudut kelas sampai dia mungkin menyadari kalau diam-diam telah ada seorang anak aneh sepertiku mengamatinya dari jauh.

Pandangan kami bertemu untuk beberapa detik, dan kemudian ia tersenyum kecil membuatku mengerjapkan mata sekali lalu mengalihkan pandanganku menjadi ke buku yang tengah aku catat. Aku menggigit bibir bawahku, tidak percaya kalau dia tersenyum padaku. Rasanya aku ingin berteriak mengatakan pada seluruh manusia di penjuru dunia manapun bahwa hei dia tersenyum padaku!

Tersenyum padaku untuk pertama kalinya selama 2 tahun ini.
Ini adalah hari terindah selama aku bersekolah, terimakasih Tuhan!

***

“Kamu tidak ke kantin?” Tanya salah satu temanku, aku menggeleng  pelan lalu mengeluarkan kotak bekal bergambar hello kitty dari tas jinjingku.

“Aku bawa ini, kamu mau? Kita bisa makan bersama,” temanku tersenyum lalu menggeleng.

“Terimakasih tapi aku makan di kantin saja, sampai jumpa nanti!” Aku hanya mengangguk diikuti senyuman kecil kemudian membuka bekal buatan Mama. Rupanya Mama membawakan aku roti bakar berselai cokelat dengan keju. Kesukaanku.

Aku memakan dengan lahap, namun kunyahanku terhenti begitu melihat dia masuk ke kelas dengan langkah tertatih. Aku mengeryit, melihat sekitar. Tidak ada orang kecuali aku dan dia, di luar kelas juga sepi.  Tentu saja siapa yang ingin berada di kelas saat jam istirahat? Jawabannya adalah hanya aku. Lagipula kelasku memang berada di gedung barat, sementara kantin di gedung selatan jadi tidak ada yang berkeliaran disaat perut mereka lapar kecuali di kantin.

Aku mengunyah dan menelan sisa rotiku dengan sedikit tergesa, setelah menimbang-nimbang dengan ragu aku melangkah ke arahnya yang sekarang tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja. “Hei,” aku menepuk pundaknya.

Dia mengangkat kepalanya lalu menoleh, “oh hei.” Balasnya pelan, aku menatap wajahnya yang pucat membuatku tersentak. “Kamu baik-baik saja?”

Dia mencoba tersenyum namun terlihat begitu memaksakan, setelah itu ia merintih—merintih begitu pelan. “Aku bisa membawamu ke UKS kalau kamu mau,” kataku menawarkan setelah berdehem menetralkan  nada bicaraku lagi, takut-takut bergetar menahan gugup yang sudah membuncah di dada.
“Tidak, terimakasih. Sungguh aku baik-baik saja.” Tolaknya, aku menghela nafas pendek menatapnya sejenak—ragu. “Baiklah kalo begitu, mmh... tapi kamu pucat.”

CERPEN : LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang