First Side

13 0 0
                                    

Semester telah berganti. Kelas baru pun menanti. Saat ini, aku, Ichika Ariza sedang ada di depan meja makan. Menyantap sarapan sebelum meluncur ke sekolah tercinta. Ini adalah tahun terakhirku di sekolah ini.

Aku adalah anak tunggal dari perkawinan bunda dan ayah. Ayah merupakan orang jepang dan bunda adalah orang indonesia, jadi harap maklum jika namaku terdengar aneh. Bunda juga sudah cukup lama berpisah sama ayah gara- gara masalah bisnis keluarga.

Sebenarnya bisnis itu diwariskan untuk bunda dari ayahnya tetapi ayahku sebagai suaminya tidak terima jadi ayah seenaknya dengan bunda. Aku sih sebagai anak yang belum berumah tangga mana ngerti hal begituan tetapi karena mereka berdua berpisah aku harus memilih tinggal di rumah salah satu dari mereka. Aku pun memilih tinggal bersama bunda. Karena bunda sibuk, aku tinggal sendiri di rumah yang bisa dibilang cukup luas.

"Nona, mobilnya sudah siap," kata pak Udin, sopir pribadiku. Aku punya sopir pribadi karena bunda merasa khawatir jika aku kenapa- napa. Padahal juga aku sudah besar. Ketika liburan aku kadang pergi ke rumah ayah di Jepang. Bunda juga kadang ikut. Yah, buat menyatukan tali silaturahmi gitu.

"Iya, pak. Aku kesana," kataku sambil memasukkan suapan terakhir ke mulut dan meluncur ke depan rumah. Setelah memasuki mobil, pak Udin langsung tancap gas menuju sekolah. Diperlukan waktu 15 menit untuk sampai kesana jadi terkadang aku mengerjakan pr di mobil.

Akhirnya sampailah aku di sekolah. "Pagi, Chika," sapa seorang laki- laki yang gak ku kenal. Tau sih anak seangkatan tapi aku gak tau siapa namanya. Bisa dibilang aku cukup famous karena mungkin aku pinter? Cantik? Kaya? Gak tau lagi deh. Ya mungkin memang bisa dibilang begitu tapi aku sih gak ngakui kalo aku pinter, cantik, dan kaya. Itu cuma katanya mereka aja.

"Na," sapaku pada seorang perempuan yang ku yakin bahwa itu Luna.

"Iya?" Jawabnya dengan nada tanya sambil menoleh ke arah suaraku. Seakan aku orang yang tidak dikenalnya.

"Jawabnya gitu banget sih, kamu kelas mana?" Tanyaku sambil mendekatinya.

"Ternyata lo, Chik," balasnya. "Kelas Ipa 5 deh. Kalo lo?"

"Kalo aku---" bruk. Belom sempat kalimatku selesai seorang lelaki menabrakku.

"Sorry," katanya singkat.

"Iya gak apa- apa kok," balasku.

"Duluan ya," katanya sambil lari meninggalkanku dan Luna. Mungkin aja dia masih dalam keadaan darurat, pikirku dalam hati.

"Oh iya, chik. Lo kelas mana?" Tanyanya membuyarkan pikiranku tadi.

"Aku juga Ipa 5, kita sekelas lagi," kataku sambil menaruh senyum senang di bibirku. "Ayo ke kelas sebelum bel."

Kriiing Kriing

Baru juga dibilangin udah bel aja. Aku sedikit penasaran dengan laki- laki tadi. Siapa ya? Kayak pernah liat. Tapi aku gak biasanya penasaran sama cowok. Apa lagi yang baru ketemu. Kok ini beda ya?

"Na, kamu tau gak siapa cowok tadi?" Tanyaku dengan nada lirih.

"Tumben lo ngomongin cowok. Gak biasanya deh. Apa jangan- jangan lo suka ya sama dia. Cie cinta pandangan pertama, Dani mau dibawa kemana, neng?" jawabnya dengan nada menggoda.

"Ih apaan sih. Jangan ngaco dong kalo ngomong, lagian kan Dani udah mantan. Buat apa nginget mantan," kataku sambil mempercepat langkahku. "Kalo kamu gak tau bilang aja. Gak usah ngomong hal aneh kayak gitu."

"Lo sendiri yang nanya hal aneh. Gak biasanya juga. Kalo semisal gue emang tau gimana? Lo mau apa?"

"Gak apa- apa sih cuma penasaran aja. Emang ada ya yang pagi- pagi gini udah lari- larian padahal belum juga ada pr."

"Apa cuma itu yang bikin lo penasaran?" Tanyanya sambil menghentikan langkahnya. "Dia adalah ---"

"Ayo cepat masuk Chik, baru aja hari pertama kamu udah telat masuk kelas," suara berat itu mengagetkanku.

Ternyata aku udah di depan kelas ya. Kok aku gak sadar sih. Kok Pak Riyan ada di sini. Jangan- jangan. Aku masuk ke kelas dengan langkah berat, menatap ruang kelas yang telah dipenuhi siswa dengan tiga bangku kosong disana. Seolah aku tak percaya bahwa...

"Baik anak- anak. Saya akan menjadi wali kelas kalian selama tahun ini. Jadi mohon bantuannya," kata Pak Riyan dan seketika itu juga seorang cowok tinggi masuk ke dalam ruang kelas yang menyisakan sebuah bangku kosong.

"Maaf, pak. Saya terlambat," katanya sopan dengan senyum di bibirnya.

"Silahkan duduk. Baru juga hari pertama," balasnya dengan judes. Dia duduk tepat di belakangku. Tunggu sepertinya aku pernah melihat dia deh. Dimana ya? Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Dan "Apa?!" Kataku seru, semua pandangan tertuju padaku termasuk pandangan Pak Riyan. Gawat nih.

"Ada apa, Chik? Kok kamu teriak?" Introgasi Pak Riyan.

"Ti- ti- tidak ada, pak," jawabku terbata- bata. Gugup rasanya menjawab pertanyaan Pak Riyan. Yah, Pak Riyan adalah guru paling killer. Gimana enggak coba, kalo salah ngomong aja dibilang inilah, itulah. Udah gitu keras kepala juga, gak mau kalah. Semua murid pun sebel sama Pak Riyan, bahkan juga mungkin para guru.

Sementara Pak Riyan sedang beramah tamah, ku pandangi seisi kelas. Banyak wajah asing disana ,terutama belakangku dan untungnya gak ada wajah Dani curut. Dani adalah mantanku. Dia orangnya nyebelin, kutukupret emang. Tapi anehnya kenapa aku suka ya? Masa bodo ah.

"Lo, cewek yang tadi gue tabrak kan? Lo temennya Luna?" Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku.

"Ah, i- iya. Kok kamu kenal Luna?" Tanyaku balik.

"Luna kan temen kecil gue, ya kenal lah. Lagian juga tetangga."

"Oh," Singkat, padat, dan nggak jelas. "Kamu siapa, sih?" Tanyaku balik.

"Gue Fanda. Georgino Defanda. Lo Chika? Pacarnya Dani itu kan?"

"Iya, dih, jijik denger namanya. Tapi kok kamu tau si?"

"Taulah. Lo kan populer. Dani juga. Lagian siapa yang gak kenal lo. Cewek teladan dan cowok yang banyak fansnya."

"Oh, gitu ya. Tapi kita udah gak pacaran kok. I'm single."

Setelah sekian lama, Pak Riyan pun mengahiri pidatonya. Beliau keluar seraya mengucap salam dan diikuti bel istirahat. Aku pun menghampiri Luna yang duduk di depan. Ya, tempat duduk kita terpisah. Aku di belakang dan Luna di depan. Aku duduk sama Ila mungkin. Aku lupa namanya. Huhu, maafkan aku my chairmate. Aku belum tau namamu.

"Na, yuk ke kantin," ajakku pada Luna.

"Ah, ya. Lis, Ra, mau ikutan gak?" Tanya Luna pada dua orang di sampinya yang gak ku kenal.

"Ah, ya. Ayo," jawab mereka berdua bebarengan. Aku hanya menatap mereka berdua dengan wajah bingung. "Oh ya, aku Ferlissa. Dan ini Kirana," ucapnya seolah mengerti apa yang ku maksud.

"Aku Chika," balasku sambil memberi senyum pada mereka.

Kami pun langsung menuju kantin. Perjalanan menuju kantin terasa seru dengan tawa yang menghiasi wajah kami. Meskipun baru kenal ternyata mereka asik diajak bercanda. Dan akhirnya, sampailah kita pada sebuah tempat bercat biru. Yap, kantin. Aku dan Ira (Kirana) mencari tempat untuk kami duduk sedangkan Ferli dan Luna memesan makanan. Sambil menunggu mereka berdua, aku dan Luna mengobrol seperti biasanya hingga ada suara cowok yang memanggilku.

"Hai, Chika sayaaang," katanya sambil duduk di depanku. Pandanganku pun langsung menuju suara itu. Dan Dia?! WHAAAT?!
————————————————————————————
Hai, readers. Saatnya author's side. Hehe. Makasih ya udah mau baca cerita absurd ini. Maafkan jika ada kesalahan kata, atau kesalahan apapun itu. Makasih yang udah mau vomment cerita ini. Saya terhura readers ;; huhu terharu woy //plak. Nantikan part berikutnya ya. Kalian pasti penasaran kan? //alyakepedean. Sudahlah aku gak tau mau bilang apa lagi. Sekian.
See U my be❤ed readers.

With love,
Alyalay

December EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang