Surat dari Masa Lalu

5 0 0
                                    

Di senja hari yang begitu melelahkan, seorang pria bernama Adil mengendarai sepeda motor tuanya menyusuri jalan rumahnya yang sepi. Meskipun merasa lelah dia tetap tersenyum sambil mendengarkan lagu kesukaannya dengan headset di telinga. Sesampainya di rumahnya yang nyaman dan sederhana, cukup untuk ditinggali seorang pria lajang yang bekerja di perusahaan percetakan dengan adik laki-lakinya yang masih kuliah, sang adik telah menyambutnya sambil duduk dan menonton televisi.

"Baru pulang Mas? Tumben malem banget," tanya Ahmad, sang adik.

"Iya nih, tadi nyelesein kerjaan dulu, besok kan libur. Malas kalau harus bawa kerjaan ke rumah," jawab Adil.

"Oh ya udah, mandi sana Mas, aku beli makanan dulu buat Mas," kata Ahmad.

Adil mengangguk dan berjalan masuk ke kamarnya. Dia tidak langsung bergegas untuk mandi melainkan merebahkan dirinya di atas tempat tidur dan menghela napas sangat dalam. Seakan menunjukkan betapa lelahnya dia hari itu. Namun perasaan lelahnya tak berarti apa-apa dibanding dengan rasa sakit kesepiannya. Waktu yang dijalaninya dengan melajang bukanlah mudah. Dia pria dewasa. Dia sudah sangat ingin menikah. Kekasih yang dulu pernah dimilikinya telah pergi karena satu keputusan yang pernah dia ambil. Dan satu-satunya gadis yang bisa selalu menerima keputusannya, bahkan kini dia tak pernah tahu lagi ada di mana.

Ya, dia sadar, dia pernah memutus hubungan dengan kekasihnya demi gadis yang lain. Dia berharap keputusannya saat itu benar. Dia juga berharap bahwa gadis yang diperjuangkan itu akan kembali kepadanya setelah dia jadi sendiri. Tapi dia juga tahu, kesalahannya di masa lalu bukanlah sesuatu yang dapat dimaafkan begitu saja oleh sang gadis. Dia pernah mengkhianatinya, dia pernah membohonginya, dan bahkan dia pernah mencampakannya. Dia pun berpikir, inikah hukum karma yang didapat karena perbuatannya itu.

Setelah sejenak menutup mata hanya agar mencegah air matanya untuk menetes, Adil pun bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju lemarinya. Diambilnya pakaian ganti dan handuk dari lemari. Dan ketika hendak menutup pintu lemari tersebut, dilihatnya sebuah foto seorang gadis yang pada saat itu masih remaja, memakai kerudung putih dan baju bunga-bunga dengan dasar putih pula. Adil pun memandang foto itu lama. Foto itu terlihat kusam seakan telah lama tergantung di sana. Sejenak kemudian Adil pun mengucapkan satu kata, "Dhya". Ya, Dhya adalah nama gadis yang pernah ia sakiti. Gadis yang dia perjuangkan namun tetap pergi karena tak tahan menatap wajah Adil bahkan untuk sekejap. Sahabatnya, Dhya, yang terlukai.

Tetapi Adil pun tak lama berdiri di depan lemarinya. Dia bergegas untuk mandi karena didengarnya suara pintu depan dibuka, mungkin Ahmad telah kembali dari membeli makanan. Setelah selesai mandi dan shalat maghrib Adil pun menghampiri adiknya di ruang depan untuk makan malam bersama.

"Bagaimana kuliah kamu Mad?" tanya Adil.

"Alhamdulillah lancar Mas, tapi sebentar lagi aku UAS. Libuan UAS nanti aku mau pulang ke tempat Ibu dan Ayah di kampung, boleh kan Mas?"

"Yah, jangan pulang dong Mad, nanti Mas kesepian di sini ga ada kamu," kata Adil sambil cemberut.

"Mangkanya cepet nikah biar ga kesepian Mas," kata Ahmad meledek.

"Hmmm, kalau Mas nikah, kamu Mas usir dari sini. Hahaha," Adil balas meledek.

"Yah, jahat amat sama adik sendiri" kata Ahmad lagi.

"Hahaha... becanda Mad," kata Adil sambil menepuk punggung adiknya.

"Oh ya Mas, aku lupa, ini tadi ada tukang pos nganterin surat,"

"Surat?" tanya Adil bingung.

"Iya," jawab Ahmad sambil berjalan menuju meja dekat televise dan mengambil amplop yang tergeletak di sana.

Surat dari Masa LaluWhere stories live. Discover now