Prolog: Awal Mula

67 3 3
                                    

Malam ini, langit menampakkan wujudnya yang paling indah. Bulan berbentuk bulat sempurna tampak gagah di antara taburan bintang yang berkelip, beralaskan langit berwarna gelap kebiruan. Aku memilih puncak, tempat yang paling sempurna untuk melihat langit. Jauh dari hingar bingar polusi perkotaan, langit bisa dilihat dengan jelas dari sini.

Tapi pemandangan itu kalah cantik dengan siapa yang sedang memandangnya. Gaun putihnya lebih cerah dari bulan di atas sana. Rambutnya yang berwarna keemasan terurai hingga punggung. Angin yang bergerak pelan membuatnya tampak menari melambai-lambai seperti memintaku mengelusnya. Aku berjalan menghampirinya.

Namun, sebersit perasaan sesak kembali melintas, membuatku menghentikan langkah. Pemandangan ini memang amat sempurna, terlalu sempurna. Bidadari yang menemani hidupku lebih dari lima tahun tampak syahdu sedang menatap langit malam kesukaanya. Tapi aku tidak bisa menyingkirkan perasaan yang berminggu-minggu menyesaki dadaku.

Cinta membalikkan badannya, menoleh ke arahku. Setitik bening tampak menggenang di sudut matanya, senyumnya amat manis.

"Raka, aku senang sekali malam ini," sahutnya sambil menghambur ke arahku. Dia memelukku erat, terisak di dadaku. Aku agak terlambat menyambut pelukannya, tapi tanganku segera mengelus rambut dan punggungnya meski sedikit lebih kaku dari biasanya.

Oh, gadis manis, bidadariku. Sanggupkah aku mengatakannya?

"Aku senang kamu pulang. Enam bulan aku menghabiskan waktuku tanpamu. aku kehilangan pangeran penjagaku. Aku senang, akhirnya kamu bisa pulang," dia mendongakkan wajahnya. Pipinya memerah, matanya sembab, tapi senyumnya mekar. Aku semakin kelu. Ya Tuhan, ini semakin sulit saja!

Lantas kubelai lembut pipinya yang basah, kuelus rambutnya. Kubenamkan lagi wajahnya di pelukanku. Aku tidak sanggup menatap wajahnya. Itu hanya akan membuatku semakin sesak. Sementara dia menangis bahagia menyambut kepulanganku, hatiku justru menjerit. Aku tentu rindu, amat rindu padanya. Aku sungguh menantikan pertemuan ini. Enam bulan aku harus ikut ayahku ke Dubai untuk urusan pekerjaannya, sekarang aku kembali merasakan sentuhannya.

Tapi ya Tuhan, kenapa Engkau melakukan ini sekarang? Kenapa tidak lebih awal? Kenapa Engkau membiarkanku terlalu menyukainya, hanya untuk melakukan ini padaku?

Dadaku makin sesak. Mataku panas, tapi hatiku lebih panas memendam rasa yang mengusikku beberapa minggu terakhir ini. Kuangkat dagunya sambil berusaha sekuat tenaga menahan air mataku, "Cinta, aku mencintaimu. Aku amat mencintaimu," kuraih dagunya. Jantungku rasanya berdetak lebih kencang. Matanya menyiratkan kekagetan, tangannya meremas punggungku, tapi Cinta mengerti. Lantas dia memejamkan matanya, wajah kami semakin mendekat.

Di tengah purnama, di tengah perasaanku yang semakin panas, bergejolak menahan rasa sesak yang memenuhi dadaku, kukecup keningnya. Hangat, dalam. Aku ingin menenangkannya. Aku ingin meyakinkannya, bahwa setelah ini pun, semua akan baik-baik saja. Aku ingin menguatkannya. Aku ingin mengatakan, bahwa setelah ini pun, kami bisa melewatinya.

"Aku mencintaimu," kubelai lembut pipinya. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Tapi, kurasa pesanku tersampaikan.

"Maka, kurasa, kita lebih baik tidak bertemu dulu."

Cinta terkesiap. Pelukannya mengendur, menatapku seolah tak percaya dengan apa yang barusan kukatakan.

"Kita harus belajar," lanjutku, berusaha agar tetap berdiri dengan kakiku setelah mengatakannya. Meski rasanya aku ingin ambruk. Meski kakiku bergetar, dadaku semakin sesak ketika mengatakannya. Sulit dipercaya, setelah lima tahun bersama. Setelah berbagai hal yang kami lewati berdua. Setelah banyak tempat kami datangi, waktu yang kami habiskan berdua. Sulit dipercaya aku sanggup mengatakannya.

"A... Apa maksudmu?" Cinta tergagap. Dia menatapku, tapi aku tahu, dia seperti sedang menatap orang asing di hadapannya.

"Aku... Aku akan menikahimu. Aku berjanji. Tapi sekarang, kita tidak seharusnya bertemu."

Cinta melepaskan pelukanku, mundur selangkah, dan berkata lirih, "Kau berjanji tidak akan meninggalkanku."

Aku meraih tangannya, "Dengarkan aku, Cinta!"

Mulutku kaku. Aku tidak kuasa melanjutkan kata-kataku. Sebelum aku mengatakan apapun, Cinta seolah membangun dinding kebal tak tertembus di antara kami. Dia tidak akan mendengarkan kata-kataku.

"Kau berjanji tidak akan meninggalkanku... Kau berjanji tidak akan meninggalkanku... Kau berjanji tidak akan meninggalkanku..."

Dia terus mengulang kata-katanya. Suaranya makin bergetar. Matanya membelalak tak percaya. Air matanya sudah kering, tapi hatinya menangis, menjerit melebihi apa yang bisa kulihat. Lantas dia berlari meninggalkanku yang masih terpaku tidak bisa melakukan apa-apa.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Halo! :D

Gimana gimana? Bagus nggak ceritanya? :D

Maafkan, aku sadar banyak kecacatan di ceritanya. Tapi semoga kalian menikmatinya. Awal Mula, dibuka dengan perpisahan, dan cerita ini bakal berlanjut dengan banyak perpisahan-perpisahan lain. Untuk bab pertama minggu depan, ada banyak pilihan mengenai mana yang lebih dulu akan kumasukkan. Apakah aku akan bercerita tentang Cinta, Raka, atau apakah akan ada tokoh lain? Nantikan saja! :D

CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang