Bab 2. Buntu

52 4 8
                                    

"Kenapa antum pergi ke diskotek lagi?" Aldi kembali bertanya prihatin. Tatapannya amat teduh, suaranya lemah lembut. Dia tidak marah mendengar ceritaku. Justru, pada wajahnya senyum lembut dan tulus terulas. Aku tidak langsung menjawab, hanya memainkan gelas kosong di tanganku sambil memandang ke lantai, tidak berani membalas tatapannya.

Aldi tersenyum mengamatiku. Kemudian dia berdeham, "A'udzubillahi minasy Syaithaanir Rajiim..."

Aku mendongakkan wajah. Aldi kembali tersenyum kepadaku sebelum membacakan sebuah ayat,

"Alladziina aamanuu wa tathma'innu quluubuhum bidzikrillaah. Alaa bi dzikrillaahi tathma'innul quluub. Shadaqallaahul 'adziim."

Suaranya amat merdu menentramkan hati. Samar-samar, aku merasakan getaran hangat, seolah-olah aku melihat sebutir cahaya jatuh di dasar hatiku yang gulita. Cahaya itu kecil, hanya setitik, tapi hangat dan menentramkan. Lantas ketika ayat itu selesai dibacakan, ruangan menjadi senyap. Aldi membiarkanku meresapi ayat yang baru saja dia bacakan.

Dia tidak perlu membacakan artinya. Lima tahun tinggal di Jeddah sudah cukup membuatku bisa paham garis besar kalam yang dia bacakan.

Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.

"Ada masalah apa? Sini cerita sama ana, insyaa Allah ana mau dengerin," ujarnya lembut sambil meletakkan tangannya di bahuku. Aku menoleh ke arahnya. Selalu menyenangkan melihat wajah itu. Tatapannya teduh, seyum mengembang, tulus. Senyum yang memberi harapan bagi mereka yang sedang berputus asa, membangkitkan rasa percaya diri untuk mereka yang merasa rendah.

"Gue capek Di. Gue ngerasa buntu. Gue nggak bisa berhenti mikirin dia, Di. Gue nggak tau harus gimana lagi sekarang. Gue... gue kehilangan kebahagiaan gue."

Aldi menunggu kelanjutan kalimatku. Setelah memastikan aku selesai berbicara, dia kemudian berkata, "Ana nggak terlalu paham sama masalah yang sebenernya antum hadapi. Ana juga nggak pernah pacaran, nggak paham apa-apa soal itu. Tapi, ana pikir, mungkin emang butuh waktu biar bisa berhenti mikirin dia."

"Lu nggak ngerti, Di. Nggak semudah itu."

"Kami udah pacaran selama lima tahun. Gue udah akrab banget sama keluarganya. Keluarganya udah nganggap gue sebagai bagian dari keluarga mereka."

"Terus, sejak malam itu, antum udah ngobrol lagi sama dia atau keluarganya?" tanya Aldi sambil mengingat potongan cerita yang pernah kusampaikan beberapa waktu lalu.

"Cinta nggak pernah ngehubungi gue lagi sejak malam itu. Malahan gue yang terus-terusan nelpon dia, berusaha jelasin ke dia. Tapi dia nggak pernah ngangkat telpon gue. Ayahnya yang paling khawatir, pernah nelpon gue. Dan, dia marah besar waktu itu."

***

"Halo, Raka?"

"I... Iya Pa?"

"Raka, kamu ada apa sama Cinta? Kalian berantem lagi?"

Ayah Cinta tanpa basa-basi langsung mengajukan pertanyaan itu. nadanya kentara sekali sedang marah. Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sulit menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

"Halo?"

"Iya pa. Maafin Raka..."

"Jangan minta maaf sama saya. Kamu nggak ada urusannya sama saya. Tapi kalo Cinta nggak mau maafin kamu, saya juga nggak bakal maafin kamu. Minta maaf sana sama Cinta!" terdengar suara gebrakan dari seberang telepon.

"Iya, tapi pa, Raka udah berusaha hubungin-"

Tut. Tut. Tut.

Shit!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 03, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang