Bab 1. Azan

48 2 5
                                    

"Antum mabuk lagi," ujar Aldi sambil menuangkan air dari galon dan mengasongkannya padaku. Aku menerimanya dengan tangan gemetaran. Tanpa dia jelaskan pun, aku sudah tahu. Aku bisa mencium aroma alkohol yang menyeruak dari mulutku. Kepalaku masih amat pening. Rambutku berantakan.

"Berapa lama gue tidur?"

Aldi tampak menghitung sebentar, lantas dengan wajah prihatin menjawab, "Sepuluh jam. Tadi ana udah bangunin antum beberapa kali. Tapi antum susah banget bangunnya. Kasian ana liat antum, jadi ana biarin aja."

Aku mengerang. Sial!

"Sebenernya, apa yang terjadi semalem? Antum clubbing lagi?" tanya Aldi iba, duduk di hadapanku. Aku berusaha mengingat. Tapi serta merta kepalaku terasa sakit. Meski begitu, sedikit demi sedikit otakku mulai merangkai beberapa potong memori kejadian semalam.

***

Dentuman musik bernada enerjik menghentak-hentak dinding ruangan. Seorang DJ lincah mengatur alunan musik, bass, dan papan DJ di hadapannya sambil sesekali mengacungkan tangan. Sorot lampu berwarna warni berputar di dalam ruangan mengikuti alunan musik. Gadis-gadis berpakaian ketat sepaha berjalan hilir mudik sambil membawa gelas-gelas alkohol. Beberapa gadis mengerumuni seorang pemuda yang masih berdasi dan jas yang tampak mabuk berat. Aku duduk di satu sudut bar, tidak tertarik dengan gadis-gadis yang beberapa kali menghampiriku. Malahan, aku tidak benar-benar menikmati musiknya. Aku hanya terus meneguk Jack Daniels-ku. Entah sudah berapa gelas wine yang sudah kuhabiskan.

Ketika aku hendak meraih gelas baruku, seseorang lebih dulu meraih tanganku.

"Hai Raka, lama nggak kelihatan nih, kemana aja?" tahu-tahu Sandra sudah berdiri di belakangku. Tangannya dilingkarkan di leherku, pipinya menempel dengan pipiku. Aku berusaha melepaskannya, tapi dia semakin sulit lepas.

"Apaan sih San? Udah, gue mau kesana dulu," aku bangkit dan berusaha menjauh. Tapi sial, alkohol membuatku sempoyongan dan justru ambruk ke lantai.

"Raka Rakaa... Kamu mabuk. Sini duduk aja dulu," tangannya meraihku, membantuku berdiri dan mendudukkanku di sofa dekat situ. Aku ingin melawan, tapi alkohol sudah menguasaiku. Akhirnya, aku hanya bisa merebahkan diri.

"Kamu kemana aja? Udah lama aku nggak lihat kamu di sini?" Sandra mengulangi pertanyaannya tadi sambil duduk merapat di sampingku. Tangannya membelai pipi dan rambutku. Aku mengerang, meminta gelas alkohol yang dipegangnya dan dengan tangan gemetaran meminumnya beberapa teguk. Sedetik, kepalaku terasa pening. Tapi sensasinya amat nikmat sehingga aku menyerahkan gelas itu pada seorang gadis yang lewat dan memberi isyarat meminta gelas baru. Gadis itu hanya berkedip nakal padaku dan berlalu.

"Rakaa... Kok kamu nggak jawab sih?" tanya Sandra semakin manja. Tangannya mengelus-elus dadaku. Sementara itu, alkohol tampak semakin bereaksi terhadapku. Telingaku berdengung, pandanganku buyar. Suara Sandra semakin samar. Begitupun suara dentuman musik DJ yang sedang dimainkan. Lewat pandanganku yang kabur dan kesadaranku yang semakin menipis, aku merasakan tangan Sandra berusaha membopongku. Dengan terseok-seok kami berjalan menuju sebuah ruangan. Beberapa kali langkah kami limbung sebab kakiku yang tidak bisa menopang tubuhku dengan baik sementara Sandra susah payah merangkulkan tanganku di bahunya dan membimbingku.

Sandra merebahkanku di atas kasur empuk, sementara dia berdiri dengan lututnya di depanku. Tangannya perlahan meraih kemejaku, menarik dasiku, dan mulai melepas kancing bajuku. Dengan kondisi yang amat lelah, pening, dan alkohol yang semakin menenggelamkan kesadaranku, aku membiarkannya melakukan sesukanya tanpa melawan.

Bajuku sudah terlepas. Sandra duduk di atasku sementara pandangannya lekat tertuju padaku. Namun, sebelum dia melakukan tindakan lebih jauh, sesuatu seperti berdengung di dalam kepalaku. Amat menyakitkan. Aku meremas rambutku sambil berusaha mengusir apapun yang ada di kepalaku. Tetapi dengung itu semakin jelas.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar... Asyhadu An laa Ilaaha Illallaah....

Perlahan-lahan, seiring semakin jelas suara itu, kesadaranku pun semakin pulih. Adzan subuh. Entah bagaimana caranya, suara azan itu bisa sampai ke telingaku, padahal kami masih di tempat clubbing. Akupun masih bisa mendengar dengan jelas dentuman musik DJ di ruang utama. Namun suara azan itu amat lembut dan merdu, menyamarkan suara-suara di arena clubbing.

Seperti baru sadar dengan apa yang terjadi, aku pun segera bangkit, memasang lagi kemejaku dengan bergegas, tak menghiraukan Sandra yang berusaha mencegahku.

Hayya 'Alash Shalaah....

Kakiku terseok menopang tubuh, tapi kupaksakan terus berjalan menyusuri lorong menuju pintu keluar. ini kali kedua aku pergi ke clubbing dan minum alkohol. Namun, kali ini aku malah meminum lebih dari tujuh gelas. Tentu tubuhku tidak kuat menerima reaksi alkohol yang kuteguk.

Setibanya di dalam mobil, aku langsung menyalakan mesin dan memacu mobilku melewati jalanan yang mulai ramai meski mentari masih akan terbit satu jam lagi. Tidak mudah mengendalikan setir sementara kepalaku pening dan perutku seperti terkuras. Berkali-kali mobilku oleng dan suara klakson dari kendaraan di belakangku menyorakiku. Aku tidak menghiraukan, terus berusaha fokus.

Aku tidak mungkin pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini. Aku tidak tahu resiko semacam apa yang akan kudapat bila Umi melihatku seperti ini.

Maka aku memutar setir ke kiri di perempatan jalan protokol, melewati jalan yang lebih kecil dengan pohon-pohon menjulang berderet di sisi jalan. Tak berapa lama, mobilku memasuki gerbang besi bercat hitam dan memarkirkannya sembarang. Namun, kesadaranku makin menipis, kakiku gemetaran turun dari mobil, dan baru beberapa langkah berjalan, aku ambruk. Di sisa-sisa kesadaranku, kulihat seorang pemuda ringkih berpeci dan sarung berlari ke arahku. Lalu semuanya gelap.

CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang