BINGKAI NELAYAN

79 1 0
                                    


Padang ilalang, tebing tinggi, bukit-bukit cadas, pohon-pohon hijau, dan hmmm...apalagi? Barangkali bebatuan, barangkali tanah, barangkali rumah? Ah tidak banyak yang bisa diingat Berto tentang daratan. Sudah bertahun-tahun ia tinggalkan jejak kaki di jalan demi puncak ombak tinggi. Sudah bertahun-tahun ia putuskan untuk meneruskan tradisi keluarganya, berlayar membelah lautan. Sudah bertahun-tahun ia mencari kejelitaan tak terungkap dari apa yang disebut orang lain sebagai "Kehidupan bahari". Sejak itulah laut menjadi rumahnya. Sejak itulah lembar demi lembar ingatannya atas harum tanah ibu pudar dan habis terkikis. Daratan adalah sebatas bidang tanah yang ia jejaki hanya ketika musim berayun. Nyaris tak menyisakan suatu perasaan apapun.

"Indonesia adalah laut yang ditaburi pulau-pulau." Begitulah yang dikatakan Bapak kepada Berto, mengutip ungkapan dari seorang cendikiawan, A.B. Lapian, yang pernah datang ke pulau tempat Berto dilahirkan.

"Seorang tokoh penting datang ke pulau yang tidak penting," ujar Bapak sambil menyesap rokok kreteknya. Angin laut menyambar-nyambar wajah pria itu, menyentuh pikirannya. Dari buritan, mereka melihat ke ujung pemandangan. Laut dan langit yang bersekat tipis, hanya terpisah oleh satu garis lurus, begitu dekat satu sama lain. Seseorang seakan bisa meraih langit dengan tangannya jika ia terus berlayar ke ujung laut. Ah, seandainya bisa.

Langit perlahan memerah, Bapak masuk ke kabin sementara Berto masih terjaga di buritan. Lelaki itu memandang lekat-lekat pada langit dan lautan. Oh, sejoli yang sangat mesra. Mereka tak pernah mengenal satu sama lain. Di antara mereka tersimpan kehidupan yang berbeda. Tetapi mereka senantiasa menampakkan diri dengan kompak. Ketika langit perlahan memerah, laut juga memerah. Ketika langit biru, laut juga biru. Ketika langit menjelma malam, laut menghitam. Ah, Apakah ada yang lebih indah dari menjalani kehidupan bersama-sama dalam suka dan duka?

***

Berto masuk ke kabin dan bergabung dengan kawan-kawannya. Senja hari di atas kapal berisik sekali. Para nelayan berleha-leha sembari merapikan jaring dan berbagai mesin pendukung. Sebagian besar nelayan di kapal ini tidak hanya mencari biota laut, tapi juga harta karun peninggalan kapal-kapal yang pernah tenggelam. Konon, ada setumpuk emas di dalam kapal Belanda yang pernah terbenam di perairan ini pada abad delapan belas dan sampai detik ini belum ditemukan. Para lelaki terus berbincang-bincang tentang hal itu tak henti-henti. Beberapa yang tidak tertarik dengan harta karun, mencari sekutu dan bercakap-cakap mengenai hal lain lagi; tentang ikan-ikan yang mereka dapatkan, rumput laut, udang, kepiting, bunga karang, teripang, ubur-ubur, hiu, dan seluruh keluarga kerajaan samudera. Mereka yang jenuh dan bersedih hati, juga berbicara mengenai hal lain lagi; tentang istri, kekasih, anak, orang tua, saudara, kakak, adik, bibi, paman, tetangga, pak lurah, pak camat, janda kembang, dan macam-macam lagi tentang daratan yang mereka tinggalkan.

Namun lebih banyak yang hanya bersenandung, juga berdansa. Seorang pria muda memetik ukulele dan mengiringi musik bahagia.

"Tumbala tumbala tumbalalaika! Tumbala tumbala tumbalalaika!"

Bapak Berto menarik anaknya untuk menyingkir. Mereka menepi ke tempat yang agak tenang, kemudian ia bentangkan peta kuno di atas meja reyot.

"Disini, dan sampai sini, aku pernah berlayar." Bapak Berto menunjuk Selat Makassar, kemudian bergerak ke Laut Flores, lalu Laut Sawu, dan sampai di Australia Utara. Lalu telunjuknya mundur lagi ke Selat Makassar, bergeser melintasi Laut Jawa, terus ke utara menuju Pulau Rotan, lalu Pulau Bintan, hingga akhirnya berhenti di Singapore lewat Pulau Sentosa. Sampai sini, Bapak Berto terdiam.

"Disini, dengan kapal ini, pernah aku temukan sebuah harta karun. Berkilo-kilo emas murni. Tapi waktu aku akan bawa seluruh harta itu ke Sulawesi. Badai menghantam kapal. Beruntung aku masih selamat. Hanya tumpukan emas itu tidak selamat." Bapak Berto menghela napas dan memandang kepada kejauhan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 20, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BINGKAI NELAYANWhere stories live. Discover now